Monday, April 13, 2015

Konglomerasi Media "Perkembangan Teknologi"

 Pengaruh Perkembangan Teknologi "Konglomerasi media"
Pengaruh Perkembangan Teknologi
Menurut teori determinisme teknologi, kehidupan masyarakat ditentukan oleh teknologi komunikasi yang digunakan. Perubahan sosial dan kemasyarakatan yang terjadi,  tersentralisasi karena kehadiran teknologi komunikasi. Diakui dalam sejarah perkembangan manusia, teknologi komunikasi berperan penting dalam perubahan sosial yang terjadi. Everett M Rogers (1986) mengatakan bahwa penemuan tulisan atau teknologi tulisan (writing) telah menyebabkan perkembangan teknologi cetak menjadi sangat pesat.  Sementara itu penemuan teknologi telekomunikasi dan komputer telah membawa pengaruh besar terhadap kemajuan teknologi interaktif. [11]
            Dalam pandangan determinisme teknologi, kehidupan masyarakat tergantung pada mesin-mesin teknologi komunikasi yang ditemukan. Menurut Harold Adam Innis (1989) dari Toronto School, setiap teknologi komunikasi yang dominan digunakan masyarakat, memiliki bias dalam hal pengaruhnya terhadap bentuk masyarakat itu sendiri.[12]
            Determinisme teknologi komunikasi menjelaskan bahwa rangkaian penemuan dan aplikasi teknologi komunikasi telah mempengaruhi perubahan-perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Perkembangan teknologi yang begitu pesat di Indonesia, tentu juga memiliki pengaruh yang signifikan.
Daniel Dakhidae dalam studi doktornya mencatat bahwa implikasi inovasi teknologi cetak telah mempengaruhi ekspansi bisnis surat kabar menjadi kian besar dan membutuhkan dukungan manajemen yang lebih profesional. Berkat perkembangan teknologi, terjadi intensifikasi kerja jurnalistik, yang pada akhirnya mendorong ekspansi di bidang lain. Terjadilah ekstensifikasi bisnis yang berkait dengan pemanfaatan teknologi tersebut. Itu berarti perkembangan sarana teknologi tidak berarti hanya sekedar perkembangan teknologi semata, melainkan juga merupakan adanya transformasi kapital. Menurut Daniel, teknologi bukanlah sekadar sarana, namun merupakan jantung persoalan yang dirasakan telah merubah bentuk produksi komoditas yang sederhana menjadi bentuk produksi yang sangat maju dengan tujuan, ”to have more, to be more in order tobe more”[13].  Lebih lanjut dalam kesimpulannya Dakhidae mengatakan bahwa, kombinasi antara teknologi tinggi dengan tingkat integrasi antara industri baru dengan industri yang lain memiliki pengaruh nyata pada kapitalisme.  Teknologi telah mendorong terjadinya konsentrasi industrial menjadi industri baru.[14]
Kecenderungan di atas secara teoritik juga terjadi pada perkembangan teknologi baru dewasa ini. Teknologi interaktif melalui komputer misalnya, berpotensi mempengaruhi perubahan intensitas sosial untuk tatap muka secara leangsung. Semakin banyak pergeseran bentuk interaksi sosial, dari yang kongkrit menjadi virtual karena teknologi. Dengan teknologi interface, orang dengan mudah menjadi get connected atau terhubungkan, tanpa batasan jarak (space) dan waktu (time). Maka yang terjadi adalah, revolusi komunikasi telah menyebabkan revolusi-revolusi sosial dalam masyarakat.
Fenomena munculnya teknologi konvergensi terjadi ketika teknologi komputer, telekomunikasi, dan media massa menyatu dalam lingkungan digital secara bersama, atau yang didefinisikan oleh Pavlik dan McIntosh [15]the coming together of computing, telecommunications, and media in a digital environment is known as convergence.” Konvergen bisa juga diartikan bergabungnya perusahaan internet dengan perusahaan-perusahaan media tradisional.
Konvergen juga berarti menyatunya media massa seperti media cetak, audio, dan video kedalam satu media digital. Walaupun sebenarnya definisi tentang konvergen yang ada belum semuanya disepakati oleh banyak pihak, namun yang terpenting, konvergen adalah transformasi dari sifat alamiah komunikasi massa, ke dalam bentuk yang baru dengan implikasi-implikasi yang baru juga.
Konvergensi pada akhirnya menyebabkan transformasi tidak hanya pada organisasi media maupun pada kalangan kreatif atau profesional media yang bekerja di organisasi media, melainkan juga menyebabkan transformasi pada khalayak, bahkan pemerintah atau negara sebagai otoritas regulator, dan juga industri. Perubahan teknologi media telah membawa paradigma baru yang terjadi karena digitalisasi media dan jaringan media massa yang semakin meluas dan konvergens.
Bagi dunia industri, implikasi dari konvergensi teknologi komunikasi, bukan sekadar berubahnya sarana. Menggunakan istilah Daniel Dakidae; “It means technology is not just a technology, It is transformed into capital.”[16] Dengan konvergensi terjadi kecenderungan merger atau bergabungnya institusi media dengan institusi media yang lain semakin kuat. Pada akhirnya, kondisi ini akan menghasilkan sentralisasi kekuatan media pada satu institusi. Keragaman kepemilikan menjadi semakin sulit karena telah menjadi bisnis hyper capital. Semakin banyak media yang melakukan merger, maka semakin sulit untuk dikontrol.[17] Hal semacam ini berpengaruh terhadap berbagai konsep bagaimana sistem penyiaran yang demokratis harus dioperasionalkan. Itulah konsekuensi dari perkembangan teknologi komunikasi yang melahirkan konsep konvergensi media.
tidak perlunya kekhawatiran yang berlebihan terhadap terjadinya konsentrasi media. Karena akan menghambat perkembangan industri media penyiaran Indonesia menjadi perusahaan yang kuat dan kompetitif secara global. Sementara membiarkan seluruh sumber daya frekuensi dikuasai oleh segelintir orang juga akan memunculkan persoalan.  Maka diperlukan suatu konsep yang seimbang antara dua kepentingan itu. Kekhawatiran berlebihan pada konsentrasi media, bertentangan dengan bukti empiris bahwa tidak ada kontrol yang sempurna terhadap konten media, kendati oleh pemiliknya sendiri. Dengan kata lain kekuatan kapitalisme dalam industri penyiaran, lebih hanya pada kontrol asset atau kekayaan media, sementara kontrol terhadap isi, tidak mungkin efektif secara sempurna. Karena para pekerja media memiliki logika sendiri, mereka senantiasa mempertimbangkan kepentingan pasar, dan kehendak khalayak, baik dalam pemberitaan maupun program. Peran rating amat tinggi, ia menjadi ukuran keberhasilan penetrasi media, sekaligus pedoman isi untuk melangsungkan hidupnya. Tanpa memperhitungkan rating atau keinginan khalayak, industri media tidak akan hidup. Rating bukan hanya menjadi barometer, melainkan juga ”filter”  bagi ”ownership control”.
Disamping itu, format isi penyiaran juga bisa menjadi kontrol, bila senantiasa dikaitkan dengan surat izin yang diberikan oleh negara. Lembaga penyiaran swasta yang berubah format siarannya, berarti mengingkari kontrak, yang menjadi  alasan diberikannya izin, karena itu idealnya, apabila ada media penyiaran yang berubah format isinya, berarti  bisa dicabut izinnya. Sedangkan perubahan pemilikam saham, bisa tetap dimungkinkan, asal tidak merubah format isi siaran. Disinilah perlunya peran pengawasan KPI.
Menurut Baker apa yang dikemukakan Bagdikian, ataupun Mc Chessney  adalah dramatisasi fakta dan pemikiran. Baker mengutip pendapat Benjamin Compaine mengatakan, “because of internet, whatever concentrated media power that existed previously “is breaking up”,  conclusion that objectionable concentration does not exist, especially as properly evaluated in respect to the media as a whole[18] Menurut Baker internet telah merubah segalanya, karena menyajikan berbagai alternatif dan isinya tidak dapat dikontrol secara sempurna oleh siapapun. Dikatakan Baker, perkembangan teknologi tetap akan menjamin adanya diversity of voices  karena media yang beragam, sesuai dengan pasar  ide mereka, akan memiliki suara yang beragam pula. Baker dalam kesempatan yang lain juga mengatakan, bahwa konsentrasi kepemilikan tujuannya selain efisiensi, untuk memperkuat perusahaan dalam persaingan pasar dunia. Disimpulkannya konsentrasi kepemilikan merupakan sarana yang menguntungkan untuk perusahaan Amerika mendominasi pasar dunia (media concentrations of media ownership beneficially aids American firm domination of world markets)[19].
Hasil studi ini sejalan dengan thesis Baker mengenai konsentrasi media. Kekhawatiran yang berlebihan terhadap konsentrasi pemilikan media perlu ditinjau kembali, karena konsentrasi tidak identik dengan monopioli. Konsentrasi merupakan keniscayaan sejarah karena perkembangan tekonologi dan tuntutan bisnis. Membetasi konsentrasi secara berlebihan akan menghambat perkembangan industri penyiaran menjadi perusahaan yang mampu berkompetisi secara global. Alasan yang lain, studi ini mengungkapkan pula, bahwa tidak ada kontrol yang sempurna terhadap konten media, kendati oleh pemiliknya sendiri.  Isi media senantiasa mempertimbangkan kepentingan pasar, dan kehendak khalayak, sehingga rating berperan tidak hanya sebagai ukuran penetrasi media, tetapi juga pedoman isi untuk melangsungkan hidupnya. Industri media tanpa memperhitungkan rating atau keinginan khalayak tidak akan hidup. Jadi rating bukan hanya sebagai barometer, melainkan juga ”filter”  bagi ”ownership control” terhadap isi. Dengan demikian demokrasi tidak sepenuhnya terancam oleh kepemilikan media semata, ada kekuatan pengontrol terhadap “the power of ownership”. Terlebih lagi berdasar studi ini, perkembangan teknologi komunikasi konvergensi tidak bisa dihindarkan akan memunculkan konsekuensi baru, termasuk  konsentrasi kepemilikan. Perkembangan teknologi juga memunculkan berbagai bentuk alternatif media, baik yang  berdasar keberagaman segmen pasar, hingga bentuk media baru yang bersifat interaktif. Teknologi interaktif inilah kemudian memunculkan citizen journalism,  dan terbentuknya public sphere yang menggairahkan partisipasi publik, sehingga justru mendukung iklim demokrasi.
Jadi bisa disimpulkan bahwa dalam sistem penyiaran yang diikuti perkembangan teknologi yang semakin modern, juga keberadaan independent regulatori body yang berfungsi mengawasi isi media secara baik, konsentrasi pemilikan media tidak akan membahayakan secara signifikan terhadap sistem penyiaran yang demokratis, khususnya tidak serta merta menghilangkan diversity of contens and opinions. Dengan kesimpulan tersebut, berarti studi ini sejalan dengan pemikiran, atau teori yang dikemukakan oleh Edwin C. Baker.
Implikasi penerimaan thesis Baker tadi, berarti mengoreksi konsep sistem penyiaran yang demokratis dari Denis McQuail, yang salah satunya mengharuskan adanya diversity of ownerships, yang kemudian diterjemahkan pemilikannya harus banyak dan beragam, serta membatasi adanya akuisisi, mereger hingga konsentrasi. Di masa depan, konsepsi semacam ini akan semakin sulit dipenuhi, karena bertentangan dengan trend teknologi, kecenderungan bisnis, hingga semakin tidak relevannya alasan yang mendasari konsep tersebut. Dengan standpoint ini, berarti berimplikasi pula terhadap perlunya peninjauan kembali mengenai regulasi keragaman kepemilikan, sebagaimana yang juga tertuang dalam Undang-Undang Penyiaran dan Peraturan Pemerintah no 50 tahun 2005. 
 

1 comment:

  1. punya link tentang literatur tentang pemikiran Edwin Baker dalam konteks ekonomi dan hukum gak Mas? yang sudah berbahasan Indonesia..

    ReplyDelete