Monday, April 13, 2015

Konglomerasi Media Dan Intervensi Pemilik Terhadap Media

Konglomerasi Media Dan Intervensi Pemilik Terhadap Media



Oleh Debby Kurniadi
1.   Latar Belakang
Informations is commodity and power. Di era globalisasi saat ini informasi tidak lagi menjadi kebutuhan sekunder, tetapi telah mengalami transisi sebagai komoditas utama bagi khalayak. Mereka yang menguasai informasi adalah mereka yang memiliki power, kalimat tersebut sudah menjadi pembahasan hari-hari masyarakat yang juga memperkuat betapa pentingnya informasi sebagai suatu kebutuhan.
Media merupakan bagian dari komunikasi massa yang tentunya memegang posisi penting dalam percepatan menyampaikan informasi terkini kepada masyarakat. Mengingat pentingnya media sebagai saluran dalam menyampaikan informasi tentunya tidak lepas dari fungsi utama media. Menurut Samuel L. Becker (1985) ada tujuh fungsi komunikasi massa terhadap individu, sebagai berikut:
  •  Pengawasan atau pencarian informasi 
  •  Mengembangkan konsep diri 
  •  Fasilitas dalam hubungan sosial 
  •  Subtitusi dalam hubungan sosial 
  •  Membantu melegakan emosi 
  •  Sarana pelarian dari ketegangan dan keterasingan 
  •  Sebagai bagian dari kehidupan rutin atau ritualisasi (dalam Yasir, 2009)
Kebutuhan masyarakat akan informasi telah menjadikan industri media berkembang pesat, tidak saja di negara maju tetapi juga di Indonesia pasca Reformasi dengan isunya “Kebebasan Pers”. Media lokal pun seakan-akan tidak ingin kehilangan moment ini, seperti halnya Riau Pos Group dan beberapa media lainnya yang ada di Provinsi Riau.
Pesatnya perkembangan media massa saat ini, juga menjadikan media tidak lagi sebagai institusi yang ideal dalam menyampaikan informasi yang akurat dan berimbang, sebagai alat sosial, politik, budaya dan fungsinya dalam mengawasi jalannya pemerintahan dan regulasi. Tetapi telah berubah menjadi institusi yang menjanjikan secara ekonomi bagi para pengusaha.
Begitu juga halnya dengan kepentingan pemilik media, yang mampu menggiring opini masyarakat tehadap suatu realitas. Hal ini bertambah “tidak baik” dengan adanya beberapa perusahaan berskala besar yang memiliki unit usaha berbagai media. Sehingga pemilik media mampu mempengaruhi masyarakat dengan media yang dimiliknya, dan tidak jarang beberapa media memiliki konten informasi yang sama. Hal ini disebut juga dengan konglomerasi media, sehingga sulit bagi masyarakat pada saat ini untuk mencari media yang benar-benar netral dan bertanggung jawab.
2.   Konglomerasi Media
Konglomerasimedia merupakan kekuatan dari perusahaan yang berskala besar dalam memiliki banyak dan jenis media massa sebagai bagian bisnisnya. Tentu saja konglomerasi media ini sangat tidak sehat dalam iklim demokrasi mengingat kekuatan media (power full) yang sangat berpengaruh terhadap masyarakat yang menkonsumsi informasi dari media media tersebut.
Bentuk konglomerasi ini tentunya sudah terjadi di Indonesia, sebut saja PT Media Nusantara Citra,Tbk yang memiliki RCTI, MNC TV, Global TV, Radio Trijaya, Koran Seputar Indonesia, Okezone.com dan Indovision. MNC Group ini dimiliki oleh Hary Tanoesoedibyo yang memiliki latar belakang tidak saja sebagai seorang pengusaha tetapi juga tokoh politik.
Kemudian Visi Media Asia (Viva Group) yang dimiliki oleh putra Abu Rizal Bakrie yakni Anindya Bakrie yang menaungi Vivanews.com, TV One dan ANTV. Surya Paloh juga memiliki Metro TV dan Media Indonesia yang bernaung dibawah Group Media Indonesia. Pemilik dua perusahaan besar ini adalah pelaku binis dan sekaligus sebagai tokoh politik di Indonesia. 
Sementara CT Corp yang sebelumnya bernama Para Group milik Chairul Tanjung, tidak saja menaungi beberapa perusahaan dibidang Perbankan, Pasar Modal, Pembiayaan, Asuransi, Perhotelan, Property dan Retail ini juga memiliki unit usaha media massa. Sebut saja Detik.com, Trans TV dan Trans 7 yang sebelumnya bernama TV 7 milik Kompas Gramedia Group.
Pelaku bisnis media lokal pun seakan tidak ingin ketinggalan, seperti Riau Pos Group yang dimiliki oleh Rida K Liamsi ini mememiliki unit bisnis media seperti Koran Harian Pagi Riau Pos, Pekanbaru Pos, Pekanbaru MX, Dumai Pos, Xpresi Magazine, Riau TV dan Fresh Radio. Dalam mengembangkan bisnis medianya, Riau Pos Group telah memperluas jaringannya kebeberapa provinsi di Sumatera. Seperti Batam Pos, Tanjung Pinang Pos, Posmetro Batam, Batam TV, Padang Ekspres, Posmetro Padang, Padang TV, Triarga TV, Sumut Pos dan Posmetro Padang. 
Singkat kata, nama-nama pemilik media diatas merupakan orang-orang yang membangun kerajaan bisnis mereka dengan berupaya dekat dengan kekuasaan. Malah beberapa diantara mereka adalah tokoh politik yang tentunya memiliki kepentingan dan tujuan. Akibatnya media yang mereka miliki tentunya lebih mengutamakan informasi dan tayangan menarik ketimbang informasi dan tayangan yang penting bagi masyarakat.
Ataupun karena adanya intervensi dari pemilik media tersebut, konten informasi yang disampaikan oleh media pun akan menjadi bias. Baik itu kepentingan ekonomi, politik dan ideologi sang pemilik, sehingga sulit bagi masyarakat untuk mencari informasi dan tayangan yang netral dan realitas yang sesungguhnya. Dengan kondisi ini maka terlihat jelas Konglomerasi media memiliki peran penting dalam menyaring informasi dan tayangan apa saja yang boleh dan tidak boleh disampaikan kepada masyarakat.
Media massa mampu memilih dan menetapkan isu yang akan mereka sampaikan kepada masyarakat. Dengan adanya penekanan pada isu-isu tertentu oleh media massa akan mampu menggiring atau justru merubah opini masyarakat terhadap realitas yang terjadi. Media mampu menggiring opini masyarakat terhadap suatu isu, dan kemampuan media dalam mempengaruhi perubahan kognitif individu ini menjadi salah satu aspek terpenting dari kekuatan komunikasi massa.
Teori Agenda Setting ditemukan oleh McComb dan Donald Shaw sekitar tahun 1968. Teori ini berasumsi bahwa media mempunyai kemampuan untuk mentransfer isu untuk mempengaruhi agenda publik. Khalayak akan menganggap suatu isu tersebut penting, karena media menganggap isu tersebut penting (dalam Syaiful Rohim, 2009). 
Dengan adanya kepemilikan media oleh segelintir orang ini, tentunya akan menimbulkan dampak negatif, pada kelangsungan system media di Indonesia. Konglomerasi media ini juga tentunya sangat bertentangan dengan fungsi dan etika media yang seharusnya.
3.   Intervensi Ekonomi Dan Politik Pemilik Terhadap Media
Saat ini masyarakat Indonesia menjadikan media massa sebagai salah satu jembatan informasi mengenai berbagai hal dan realitas dimasyarakat. Baik itu media massa seperti koran, bulletin, majalah, televisi, radio ataupun film. Begitu pula halnya dengan masyarakat yang ada di Provinsi Riau, membaca koran sambil menikmati secangkir kopi dipagi hari seakan-akan telah menjadi ritual sebagian masyarakat.
Kondisi ini tentunya sangat sesuai dengan Teori Depensi Mengenai Efek Komunikasi Massa yang dikembangkan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin L DeFleur (1976). Yang memfokuskan perhatiannya pada kondisi struktural suatu masyarakat yang mengatur kecenderungan terjadinya suatu efek media massa. Pemikiran terpenting dari teori ini bahwa dalam masyarakat modern, audience menjadi tergantung pada media massa sebagai sumber informasi bagi pengetahuan tentang, dan orientasi kepada, apa yang terjadi dalam masyarakatnya. Kedua, berkaitan dengan apa yang dilakukan media yang pada dasarnya melayani berbagai fungsi informasi (dalam Syaiful Rohim, 2009)
Media merupakan sarana publik yang seharusnya mampu menyajikan informasi yang benar, komprehensif, dan cerdas. Media sebagai bagian dari komunikasi massa dituntut untuk selalu akurat dan netral, fakta disampaikan dengan jujur dan tentunya dengan memperhatikan etika jurnalisme. Begitu pula halnya dalam menyampaikan pendapat, bukan justru pendapat disampaikan seakan fakta suatu realitas.
Media sebagai saluran juga harus berperan sebagai forum pertukaran pendapat, komentar dan kritik. Mampu mengangkat aspirasi publik, dan membuka akses keberbagai sumber informasi. Media juga harus mampu mengfungsikan diri sebagai instrument pendidik bagi masyarakat, sehingga masyarakat memperoleh pengetahuan dan keterampilan.
Menurut lasswell dan Wright (1975) ada empat fungsi Komunikasi Massa terhadap masyarakat, sebagai berikut:
Pengawasan lingkungan
Fungsi ini merujuk pada pengumpulan dan penyebaran informasi mengenai berbagai peristiwa yang terjadi. Media massa menyebarkan segala kejadian dan peristiwa sehingga menjadi informasi bagi khalayak. Kejadian dan peristiwa yang berkaitan dengan aspek-aspek sosial, politik, ekonomi dan budaya akan selalu dilaporkan oleh media massa. 

Penghubung antar bagian dalam masyarakat
Setiap sajian berita yang menyangkut hidup orang banyak, akan menjadi stimuli bagi khalayak untuk memberikan tanggapan dan mengenalkan antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya.
     Sosialisai atau pewarisan nilai-nilai
Fungsi ini merujuk pada upaya transmisi dan pendidikan nilai-nilai serta norma-norma dari satu generasi kepada generasi yang berikutnya, atau dari satu kelompok masyarakat terhadap para anggota kelompok yang baru.
     Hiburan
Fungsi hiburan merujuk upaya-upaya komunikatif yang bertujuan untuk memberikan hiburan pada khalayak luas (dalam Yasir, 2009).
Melihat fungsi dari Komunikasi Massa diatas, maka pada pandangan kritis muncul satu pertanyaan sederhana “apakah media mampu melakukan fungsinya tanpa intervensi dari pemilik media?”. 
Pesatnya perkembangan media massa saat ini, telah merubah media menjadi institusi yang menjanjikan secara ekonomi bagi para pengusaha. Berbicara institusi secara ekonomi, tentunya tidak akan lepas dari istilah pasar, produksi, barang, jasa dan keuntungan. Pasar media tentunya memiliki karakteristik yang berbeda dengan pasar lainya. Tentunya media mampu memproduksi barang berupa informasi atau tayangan yang menarik. Sementara jasa yang ditawarkan adalah media sebagai saluran yang menghubungkan para pengiklan dengan masyarakat yang menkonsumsi media tersebut.   
Tetapi tidak sedikit media memberikan informasi atau tayangan mainstream. Tidak jarang pula bertentangan dengan etika jurnalisme, media dan penyiaran, hal ini dilakukan semata mata untuk kepentingan ekonomi. Televisi swasta selalu berupaya untuk meningkatkan rating dan menarik pengiklan sebanyak mungkin, dengan kata lain televisi swasta Indonesia akan berlomba lomba untuk mengejar keuntungan secara ekonomi dibandingkan kepentingan publik.
Marxisme klasik memandang media sebagai alat bantu dari kelas yang dominan dan sebuah untuk para kapitalis menunjukkan ketertarikan mereka dalam menghasilkan keuntungan. Media menyebarkan ideologi dari dorongan yang berkuasa dalam masyarakat dan dengan demikian menindas golongan-golongan tertentu (dalam Stephen W Littlejohn dan Karen A Foss, 2009).
Media tidak saja mendapat tekanan secara ekonomi, tetapi juga secara politik dari pemilik media. Ketika pemilik media adalah tokoh politik, maka akan muncul kecenderungan untuk menggunakan kekuatan media sebagai alat untuk mancapai tujuan politiknya. Hal ini jelas sudah mengesampingkan hak masyarakat untuk menerima informasi dan tayangan yang jujur dan memuat kebenaran.
Lihat saja TV One dan ANTV yang tergabung dalam Bakrie Group milik Abu Rizal Bakrie yang juga Ketua Umum partai Golkar (Partai Golongan Karya). Kedua stasiun Televisi ini tidak sungkan-sungkan menyampaikan informasi pencitraan politik Abu Rizal Bakrie. Begitu pula halnya dengan Metro TV dan Media Indonesia yang bernaung dibawah Group Media Indonesia. Media massa milik Surya Paloh ini seakan akan tidak ingin ketinggalan untuk memberikan informasi dan pencitraan politik Partai Nasdem (Partai Nasional Demokrat) yang juga diketuai oleh Surya Paloh.
Dan bukan hal yang aneh apabila pemilik media adalah tokoh yang pro pemerintah, sudah dapat dipastikan media yang dimilikinya akan memberikan informasi dan tayangan yang juga pro terhadap pemerintah. Hal ini bisa dilihat pada media lokal seperti Riau Pos. Koran harian pagi milik Rida K Liamsi ini bersedia memberikan dua belas halaman khusus dari empat puluh delapan halaman, sebagai sarana informasi mengenai kegiatan pemerintah Provinsi Riau (yang mungkin lebih tepat dengan sebutan pencitraan). 
Kondisi ini tentunya bertolak belakang dengan televisi yang dimiliki oleh Republik ini, lihat saja Televisi Republik Indonesia selaku Lembaga Penyiaran Publik. Bisa dikatakan tidak mampu memberikan contoh yang baik untuk televisi-televisi swasta. Bahkan tayangannya cenderung membosankan dan mungkin saat ini sebagian masyarakat sudah tidak lagi melihatnya. Belum lagi masalah intern pada LPP ini, TVRI belum mampu menyelesaikan permasalahannya pada tataran manajemen yang tentunya sangat berpengaruh terhadap produksi televisi ini.
Seharusnya kondisi ini menjadi perhatian dari pemilik media dan masyarakat, tetapi juga menjadi perhatian khusus bagi pemerintah untuk mengatur regulasi media di Indonesia. Bukankah media massa merupakan bagian dari demokrasi? Ketika media massa tidak lagi mampu sebagai institusi ideal dalam menyampaikan informasi dan sudah menjadi media alat bagi sang pemilik, hal ini tentunya akan terus merusak jalannya demokratisasi direpublik ini. 
Media memiliki kekuatan yang besar dalam menyampaikan informasi dan tayangannya, akan tetapi sangat lemah terhadap tekanan dari pemilik media. Dan kondisi ini hanyalah sebagian kecil bentuk intervensi pemilik media dilihat dari kacamata ekonomi politik dan media.
4.   Penutup
Media merupakan sarana publik yang seharusnya mampu menyajikan informasi yang benar, komprehensif, dan cerdas. Media sebagai bagian dari komunikasi massa dituntut untuk selalu akurat dan netral, fakta disampaikan dengan jujur dan tentunya dengan memperhatikan etika jurnalisme. 
Kepemilikan beberapa media oleh korporasi  ini sangat tidak sehat dalam iklim demokrasi Indonesia. Konglomerasi juga bentuk lain dari monopoli terhadap informasi dan monopoli frekuensi yang seharusnya menjadi hak publik.
Fenomena konglomerasi media saat ini tentunya telah menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Tetapi regulasi mengenai kepemilikan media saat ini masih memiliki banyak kelemahan. Sehingga tidak mengalami perubahan yang berarti bagi pemilik media-media massa Indonesia. 
Selain menghadirkan regulasi mengenai kepemilikan media massa yang berpihak kepada masyarakat. Berharap pemerintah Indonesia mampu menempatkan orang-orang yang ber-kompeten dibidangnya, untuk menuju Indonesia yang lebih baik dimasa mendatang.
5.   Referensi
Rohim, Syaiful. 2009. Teori Komunikasi. Rineka Cipta, Jakarta
Littlejhon, Stepen W, Foss, Karen A. 2009. Teori Komunikasi, Salemba Humanika, Jakarta

No comments:

Post a Comment