Konglomerasi Media Dan Intervensi Pemilik Terhadap Media
Oleh Debby Kurniadi
1.
Latar Belakang
Informations is commodity and power. Di era globalisasi saat ini informasi tidak
lagi menjadi kebutuhan sekunder, tetapi telah mengalami transisi sebagai
komoditas utama bagi khalayak. Mereka yang menguasai informasi adalah mereka
yang memiliki power, kalimat tersebut
sudah menjadi pembahasan hari-hari masyarakat yang juga memperkuat betapa
pentingnya informasi sebagai suatu kebutuhan.
Media merupakan bagian dari komunikasi
massa yang tentunya memegang posisi penting dalam percepatan menyampaikan
informasi terkini kepada masyarakat. Mengingat pentingnya media sebagai saluran
dalam menyampaikan informasi tentunya tidak lepas dari fungsi utama media.
Menurut Samuel L. Becker (1985) ada tujuh fungsi komunikasi massa terhadap
individu, sebagai berikut:
- Pengawasan atau pencarian informasi
- Mengembangkan konsep diri
- Fasilitas dalam hubungan sosial
- Subtitusi dalam hubungan sosial
- Membantu melegakan emosi
- Sarana pelarian dari ketegangan dan keterasingan
- Sebagai bagian dari kehidupan rutin atau ritualisasi (dalam Yasir, 2009)
Kebutuhan
masyarakat akan informasi telah menjadikan industri media berkembang pesat,
tidak saja di negara maju tetapi juga di Indonesia pasca Reformasi dengan isunya
“Kebebasan Pers”. Media lokal pun seakan-akan tidak ingin kehilangan moment ini, seperti halnya Riau Pos Group
dan beberapa media lainnya yang ada di Provinsi Riau.
Pesatnya
perkembangan media massa saat ini, juga menjadikan media tidak lagi sebagai
institusi yang ideal dalam menyampaikan informasi yang akurat dan berimbang, sebagai
alat sosial, politik, budaya dan fungsinya dalam mengawasi jalannya
pemerintahan dan regulasi. Tetapi telah berubah menjadi institusi yang
menjanjikan secara ekonomi bagi para pengusaha.
Begitu juga halnya dengan kepentingan pemilik
media, yang mampu menggiring opini masyarakat tehadap suatu realitas. Hal ini
bertambah “tidak baik” dengan adanya beberapa perusahaan berskala besar yang
memiliki unit usaha berbagai media. Sehingga pemilik media mampu mempengaruhi
masyarakat dengan media yang dimiliknya, dan tidak jarang beberapa media memiliki
konten informasi yang sama. Hal ini disebut juga dengan konglomerasi media,
sehingga sulit bagi masyarakat pada saat ini untuk mencari media yang benar-benar
netral dan bertanggung jawab.
2.
Konglomerasi Media
Konglomerasimedia merupakan kekuatan dari perusahaan yang berskala besar dalam memiliki
banyak dan jenis media massa sebagai bagian bisnisnya. Tentu saja konglomerasi
media ini sangat tidak sehat dalam iklim demokrasi mengingat kekuatan media (power
full) yang sangat berpengaruh terhadap masyarakat yang menkonsumsi informasi dari
media media tersebut.
Bentuk
konglomerasi ini tentunya sudah terjadi di Indonesia, sebut saja PT Media
Nusantara Citra,Tbk yang memiliki RCTI, MNC TV, Global TV, Radio Trijaya, Koran
Seputar Indonesia, Okezone.com dan Indovision. MNC Group ini dimiliki oleh Hary
Tanoesoedibyo yang memiliki latar belakang tidak saja sebagai seorang pengusaha
tetapi juga tokoh politik.
Kemudian
Visi Media Asia (Viva Group) yang dimiliki oleh putra Abu Rizal Bakrie yakni
Anindya Bakrie yang menaungi Vivanews.com, TV One dan ANTV. Surya Paloh juga
memiliki Metro TV dan Media Indonesia yang bernaung dibawah Group Media
Indonesia. Pemilik dua perusahaan besar ini adalah pelaku binis dan sekaligus
sebagai tokoh politik di Indonesia.
Sementara
CT Corp yang sebelumnya bernama Para Group milik Chairul Tanjung, tidak saja menaungi
beberapa perusahaan dibidang Perbankan, Pasar Modal, Pembiayaan, Asuransi,
Perhotelan, Property dan Retail ini juga memiliki unit usaha media massa. Sebut
saja Detik.com, Trans TV dan Trans 7 yang sebelumnya bernama TV 7 milik Kompas
Gramedia Group.
Pelaku
bisnis media lokal pun seakan tidak ingin ketinggalan, seperti Riau Pos Group
yang dimiliki oleh Rida K Liamsi ini mememiliki unit bisnis media seperti Koran
Harian Pagi Riau Pos, Pekanbaru Pos, Pekanbaru MX, Dumai Pos, Xpresi Magazine,
Riau TV dan Fresh Radio. Dalam mengembangkan bisnis medianya, Riau Pos Group
telah memperluas jaringannya kebeberapa provinsi di Sumatera. Seperti Batam
Pos, Tanjung Pinang Pos, Posmetro Batam, Batam TV, Padang Ekspres, Posmetro
Padang, Padang TV, Triarga TV, Sumut Pos dan Posmetro Padang.
Singkat
kata, nama-nama pemilik media diatas merupakan orang-orang yang membangun
kerajaan bisnis mereka dengan berupaya dekat dengan kekuasaan. Malah beberapa
diantara mereka adalah tokoh politik yang tentunya memiliki kepentingan dan tujuan.
Akibatnya media yang mereka miliki tentunya lebih mengutamakan informasi dan
tayangan menarik ketimbang informasi dan tayangan yang penting bagi masyarakat.
Ataupun
karena adanya intervensi dari pemilik media tersebut, konten informasi yang
disampaikan oleh media pun akan menjadi bias. Baik itu kepentingan ekonomi,
politik dan ideologi sang pemilik, sehingga sulit bagi masyarakat untuk mencari
informasi dan tayangan yang netral dan realitas yang sesungguhnya. Dengan
kondisi ini maka terlihat jelas Konglomerasi media memiliki peran penting dalam
menyaring informasi dan tayangan apa saja yang boleh dan tidak boleh
disampaikan kepada masyarakat.
Media
massa mampu memilih dan menetapkan isu yang akan mereka sampaikan kepada
masyarakat. Dengan adanya penekanan pada isu-isu tertentu oleh media massa akan
mampu menggiring atau justru merubah opini masyarakat terhadap realitas yang
terjadi. Media mampu menggiring opini masyarakat terhadap suatu isu, dan kemampuan
media dalam mempengaruhi perubahan kognitif individu ini menjadi salah satu aspek
terpenting dari kekuatan komunikasi massa.
Teori
Agenda Setting ditemukan oleh McComb dan Donald Shaw sekitar tahun 1968. Teori
ini berasumsi bahwa media mempunyai kemampuan untuk mentransfer isu untuk
mempengaruhi agenda publik. Khalayak akan menganggap suatu isu tersebut
penting, karena media menganggap isu tersebut penting (dalam Syaiful Rohim,
2009).
Dengan
adanya kepemilikan media oleh segelintir orang ini, tentunya akan menimbulkan
dampak negatif, pada kelangsungan system media di Indonesia. Konglomerasi media
ini juga tentunya sangat bertentangan dengan fungsi dan etika media yang
seharusnya.
3.
Intervensi Ekonomi Dan
Politik Pemilik Terhadap Media
Saat
ini masyarakat Indonesia menjadikan media massa sebagai salah satu jembatan
informasi mengenai berbagai hal dan realitas dimasyarakat. Baik itu media massa
seperti koran, bulletin, majalah, televisi, radio ataupun film. Begitu pula
halnya dengan masyarakat yang ada di Provinsi Riau, membaca koran sambil
menikmati secangkir kopi dipagi hari seakan-akan telah menjadi ritual sebagian
masyarakat.
Kondisi
ini tentunya sangat sesuai dengan Teori Depensi Mengenai Efek Komunikasi Massa yang
dikembangkan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin L DeFleur (1976). Yang
memfokuskan perhatiannya pada kondisi struktural suatu masyarakat yang mengatur
kecenderungan terjadinya suatu efek media massa. Pemikiran terpenting dari
teori ini bahwa dalam masyarakat modern, audience
menjadi tergantung pada media massa sebagai sumber informasi bagi pengetahuan
tentang, dan orientasi kepada, apa yang terjadi dalam masyarakatnya. Kedua, berkaitan dengan apa yang dilakukan
media yang pada dasarnya melayani berbagai fungsi informasi (dalam Syaiful
Rohim, 2009)
Media
merupakan sarana publik yang seharusnya mampu menyajikan informasi yang benar,
komprehensif, dan cerdas. Media sebagai bagian dari komunikasi massa dituntut
untuk selalu akurat dan netral, fakta disampaikan dengan jujur dan tentunya
dengan memperhatikan etika jurnalisme. Begitu pula halnya dalam menyampaikan
pendapat, bukan justru pendapat disampaikan seakan fakta suatu realitas.
Media
sebagai saluran juga harus berperan sebagai forum pertukaran pendapat, komentar
dan kritik. Mampu mengangkat aspirasi publik, dan membuka akses keberbagai
sumber informasi. Media juga harus mampu mengfungsikan diri sebagai instrument pendidik
bagi masyarakat, sehingga masyarakat memperoleh pengetahuan dan keterampilan.
Fungsi ini merujuk pada pengumpulan dan
penyebaran informasi mengenai berbagai peristiwa yang terjadi. Media massa
menyebarkan segala kejadian dan peristiwa sehingga menjadi informasi bagi
khalayak. Kejadian dan peristiwa yang berkaitan dengan aspek-aspek sosial,
politik, ekonomi dan budaya akan selalu dilaporkan oleh media massa.
Penghubung antar bagian dalam masyarakat
Penghubung antar bagian dalam masyarakat
Setiap sajian berita yang menyangkut hidup
orang banyak, akan menjadi stimuli bagi khalayak untuk memberikan tanggapan dan
mengenalkan antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya.
Sosialisai atau
pewarisan nilai-nilai
Fungsi ini merujuk pada upaya transmisi dan
pendidikan nilai-nilai serta norma-norma dari satu generasi kepada generasi
yang berikutnya, atau dari satu kelompok masyarakat terhadap para anggota
kelompok yang baru.
Hiburan
Fungsi hiburan merujuk upaya-upaya komunikatif
yang bertujuan untuk memberikan hiburan pada khalayak luas (dalam Yasir, 2009).
Melihat
fungsi dari Komunikasi Massa diatas, maka pada pandangan kritis muncul satu
pertanyaan sederhana “apakah media mampu melakukan fungsinya tanpa intervensi
dari pemilik media?”.
Pesatnya
perkembangan media massa saat ini, telah merubah media menjadi institusi yang
menjanjikan secara ekonomi bagi para pengusaha. Berbicara institusi secara
ekonomi, tentunya tidak akan lepas dari istilah pasar, produksi, barang, jasa
dan keuntungan. Pasar media tentunya memiliki karakteristik yang berbeda dengan
pasar lainya. Tentunya media mampu memproduksi barang berupa informasi atau
tayangan yang menarik. Sementara jasa yang ditawarkan adalah media sebagai
saluran yang menghubungkan para pengiklan dengan masyarakat yang menkonsumsi
media tersebut.
Tetapi
tidak sedikit media memberikan informasi atau tayangan mainstream. Tidak jarang pula bertentangan dengan etika jurnalisme,
media dan penyiaran, hal ini dilakukan semata mata untuk kepentingan ekonomi.
Televisi swasta selalu berupaya untuk meningkatkan rating dan menarik pengiklan
sebanyak mungkin, dengan kata lain televisi swasta Indonesia akan berlomba
lomba untuk mengejar keuntungan secara ekonomi dibandingkan kepentingan publik.
Marxisme klasik memandang media sebagai alat bantu dari
kelas yang dominan dan sebuah untuk para kapitalis menunjukkan ketertarikan
mereka dalam menghasilkan keuntungan. Media menyebarkan ideologi dari dorongan
yang berkuasa dalam masyarakat dan dengan demikian menindas golongan-golongan
tertentu (dalam Stephen W Littlejohn dan Karen A Foss, 2009).
Media
tidak saja mendapat tekanan secara ekonomi, tetapi juga secara politik dari
pemilik media. Ketika pemilik media adalah tokoh politik, maka akan muncul
kecenderungan untuk menggunakan kekuatan media sebagai alat untuk mancapai
tujuan politiknya. Hal ini jelas sudah mengesampingkan hak masyarakat untuk
menerima informasi dan tayangan yang jujur dan memuat kebenaran.
Lihat
saja TV One dan ANTV yang tergabung dalam Bakrie Group milik Abu Rizal Bakrie yang
juga Ketua Umum partai Golkar (Partai Golongan Karya). Kedua stasiun Televisi
ini tidak sungkan-sungkan menyampaikan informasi pencitraan politik Abu Rizal
Bakrie. Begitu pula halnya dengan Metro TV dan Media Indonesia yang bernaung
dibawah Group Media Indonesia. Media massa milik Surya Paloh ini seakan akan
tidak ingin ketinggalan untuk memberikan informasi dan pencitraan politik
Partai Nasdem (Partai Nasional Demokrat) yang juga diketuai oleh Surya Paloh.
Dan
bukan hal yang aneh apabila pemilik media adalah tokoh yang pro pemerintah,
sudah dapat dipastikan media yang dimilikinya akan memberikan informasi dan
tayangan yang juga pro terhadap pemerintah. Hal ini bisa dilihat pada media
lokal seperti Riau Pos. Koran harian pagi milik Rida K Liamsi ini bersedia
memberikan dua belas halaman khusus dari empat puluh delapan halaman, sebagai
sarana informasi mengenai kegiatan pemerintah Provinsi Riau (yang mungkin lebih
tepat dengan sebutan pencitraan).
Kondisi
ini tentunya bertolak belakang dengan televisi yang dimiliki oleh Republik ini,
lihat saja Televisi Republik Indonesia selaku Lembaga Penyiaran Publik. Bisa
dikatakan tidak mampu memberikan contoh yang baik untuk televisi-televisi
swasta. Bahkan tayangannya cenderung membosankan dan mungkin saat ini sebagian
masyarakat sudah tidak lagi melihatnya. Belum lagi masalah intern pada LPP ini,
TVRI belum mampu menyelesaikan permasalahannya pada tataran manajemen yang tentunya
sangat berpengaruh terhadap produksi televisi ini.
Seharusnya
kondisi ini menjadi perhatian dari pemilik media dan masyarakat, tetapi juga
menjadi perhatian khusus bagi pemerintah untuk mengatur regulasi media di
Indonesia. Bukankah media massa merupakan bagian dari demokrasi? Ketika media
massa tidak lagi mampu sebagai institusi ideal dalam menyampaikan informasi dan
sudah menjadi media alat bagi sang pemilik, hal ini tentunya akan terus merusak
jalannya demokratisasi direpublik ini.
Media
memiliki kekuatan yang besar dalam menyampaikan informasi dan tayangannya, akan
tetapi sangat lemah terhadap tekanan dari pemilik media. Dan kondisi ini
hanyalah sebagian kecil bentuk intervensi pemilik media dilihat dari kacamata ekonomi
politik dan media.
4.
Penutup
Media
merupakan sarana publik yang seharusnya mampu menyajikan informasi yang benar,
komprehensif, dan cerdas. Media sebagai bagian dari komunikasi massa dituntut
untuk selalu akurat dan netral, fakta disampaikan dengan jujur dan tentunya
dengan memperhatikan etika jurnalisme.
Kepemilikan
beberapa media oleh korporasi ini sangat
tidak sehat dalam iklim demokrasi Indonesia. Konglomerasi juga bentuk lain dari
monopoli terhadap informasi dan monopoli frekuensi yang seharusnya menjadi hak
publik.
Fenomena
konglomerasi media saat ini tentunya telah menjadi perhatian pemerintah
Indonesia. Tetapi regulasi mengenai kepemilikan media saat ini masih memiliki
banyak kelemahan. Sehingga tidak mengalami perubahan yang berarti bagi pemilik
media-media massa Indonesia.
Selain
menghadirkan regulasi mengenai kepemilikan media massa yang berpihak kepada
masyarakat. Berharap pemerintah Indonesia mampu menempatkan orang-orang yang
ber-kompeten dibidangnya, untuk menuju Indonesia yang lebih baik dimasa
mendatang.
5.
Referensi
Rohim, Syaiful. 2009. Teori
Komunikasi. Rineka Cipta, Jakarta
Littlejhon,
Stepen W, Foss, Karen A. 2009. Teori Komunikasi, Salemba Humanika,
Jakarta
Yasir.
2009. Pengantar Ilmu Komunikasi, Wita
Irzani, Pekanbaru
Intervensi Pemilik Media "Konglomerasi Media"
Bahaya Konglomerasi Media
Dampak Konglomerasi Media
Regulasi atau Aturan Konglomerasi Media Di Indonesia
Intervensi Pemilik Media "Konglomerasi Media"
Bahaya Konglomerasi Media
Dampak Konglomerasi Media
Regulasi atau Aturan Konglomerasi Media Di Indonesia
No comments:
Post a Comment