Thursday, December 10, 2015

Konglomerasi Media dan Agenda Setting

Konglomerasi Media dan Agenda Setting

Di sekitar kita, sering kita jumpai orang dengan status ekonomio yang berbeda, ada yang miskin, juga ada orang yang kaya. Orang miskin tidak mempunyai harta sedangkan orang kaya memiliki harta dan uang yang melimpah. Saat kita menjumpai hal tersebut sering kali kita tidak mempedulikannya. Karena harta yang mereka miliki adalah jerih payah dari pekerjaan dan usaha mereka.
orang kaya seringkali mengumpulkan hal-hal yang mereka sukai untuk menjadikan nya sebagai koleksi. Ada yang koleksi tas mewah, koleksi motor gede, koleksi mobil mewah dan sebagainya. Sering kali kita tidak terlalu mempedulikannya karena sebanyak koleksi mereka tidak mempengaruhi kehidupan kita.
Orang-orang kaya saat ini lebih suka untuk investasi dengan beragam usaha. Banyak orang kaya yang membuat berbagai macam usaha, seperti bisnis perhiasan, butik, bahan bangunan, perumahan, mobil mewah dan sebagainya. Tetapi, sering kali sebagai orang yang biasa-biasa saja kita seringkali mengabaikannya, Cuma berhanyal bagaimana menjadi seperti mereka.
Mempunyai usaha memang adalah hal semua orang sebagai jalan untuk membuka rejeki atau nafkah bagi keluarga. Kalo melihat itu, kita tidak masalah dengan konglomerat keluarga Hartono pemilik Perusahaan Djarum dan BCA, atau konglomerat Susilo Wonowidjojo pemilik Gudang Garam, dan pengusaha lainnya.  Asalkan usaha nya adalah usaha yang jujur dan tidak merugikan orang lain mari kita dukung.
Tapi fenomena yang saat ini terjadi adalah ada beberapa orang yang memiliki banyak usaha dalam bidang penyiaran seperti media cetak, televisi dan radio. Sepertinnya kao kita lihat itu juga menjadi hal yang biasa dan tidak perlu di masalahkan. Yang punya duit mereka, yang membangun media mereka dan yang punya usaha mereka. Tetapi kenapa kita permasalahkan ya ?
Ingat kita sudah sepakat harus mendukung usaha seseorang asal dengan syarat jujur dan tidak merugikan orang lain. Lalu apa salahnya kalo ada orang yang mempunyai usaha banyak di satu media. Misal punya televisi, punya radio dan punya majalah. Seolah-olah memang tidak masalah ya ? Kepemilikan seseorang dalam banyak media disebut konglomerasi media.
Konglomerasi Media adalah penggabungan-penggabungan perusahaan media menjadi perusahaan yang lebih besar yang membawahi banyak media. Konglomerasi ini dilakukan dengan melakukan korporasi dengan perusahaan media lain yang dianggap mempunyai visi yang  sama. Pembentukan konglomerasi ini dengan cara kepemilikan saham, joint venture / merger, atau pendirian kartel komunikasi dalam skala besar baik intergrasi vertikal, intergasi horisontal maupun kepemilikan silang. Akibatnya kepemilikan media yang berpusat pada segelintir orang. Contoh dalam hal ini Trans7 dan Trans TV berada pada payung bisnis yang sama yakni Trans Corp yang dikuasai oleh Chairul Tanjung , Global TV, RCTI dan TPI bergabung dalam Group MNC dan bertindak selaku pemilik di Indonesia adalah hary Tanoesoedibyo, TV One dan ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie Group dengan Boss utama Abu Rizal bakrie, SCTV yang sebahagian besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja, dan yang terakhir Metro TV dengan Surya Paloh pemimpinnya yang termasyhur karena wajahnya sering ditampilkan oleh TV yang dimilikinya sendiri.
Intinya adalah kepemilikan media pada hanya segelintir orang saja, membentuk sebuah gurita media karena satu orang menguasai berbagai media. Mungkin bagi kebanyakan  orang nampaknya hal ini sah-sah saja, karena setiap orang pasti akan selalu berusaha untuk mengembangkan usahanya. Tetapi ternyata konglomerasi mempunyai dampak yang luar biasa berbahaya bagi masyarakat, karena dapat membentuk opini tertentu yang tidak sehat, sterotipe pada suatu hal tertentu dan lain-lain.
Konglomerasi di Indonesia menyebabkan satu orang dapat menguasai banyak media muncul, sehingga orang tersebut dapat mengendalikan berbagai media dalam satu waktu, dari kebijakan yang harus dianut, berita mana yang layak di publikasikan, nilai-nilai yang dianut dan sebagainya. Akibatnya jika media yang tergabung dalam satu group tertentu maka berita dan informasi yang disampaikan akan homogen. Selain itu berita yang disampaikah hanya berita yang dianggap menguntungan secara ekonomi. Akhirnya Pers tidak lagi dinilai dari seberapa besar nilai berita yang ada, tetapi berapa banyak keuntungan yang akan didapatkan dari pemuatan berita tersebut. Sebetulnya ini merupakan tanda-tanda bahwa  regulasi atau peraturan yang mengatur tentang kepemilikan media tidak berjalan dengan baik. Padahal konglomerasi media berbahaya dan ancaman kebebasan pers.
Contoh ANTV karena saham terbesarnya milik keluarga Bakri, maka bagaimana pun tidak akan pernah ada berita yang akan mengangkat lumpur lapindo dan penderitaan masyarakat yang ada di sana. Televisi lain adalah Metro TV yang sering kali menyiarkan pemberitaan tentang Partai Nasional Demokrat, padahal kalo diperhatikan nilai berita mungkin tidak terlalu tinggi. Tetapi karena kepentingan pemiliknya maka berita tersebut sering muncul.
Pemilik media
Sebuah pertanyaan yang biasa adalah siapa yang pertama kali menentukaan agenda media ? Ini adalah pertanyaan yang sulit dan kompleks. Terlihat bahwa agenda media berasal dari tekanan baik di dalam organisasi media dan dari sumber-sumber di luar organisasi tersebut. Dengan kata lain, agenda media ditentukkan oleh beberapa kombinasi pemprograman internal, keputususan manajerial dan editorial, dan pengaruh eksternal dari sumber-sumber non-media, seperti individu yang berpengaruh secara sosial, pejabat pemerintah, dukungan iklan dan sebagainya. (Littlejohn, 2009:418)
Harusnya agenda media merupakan hadil dari buah pikiran banyak orang, karena media ibarat sebagai seorang indivisu yang mempuyai karakter dan suatu tujuan hidup. Tapi bagaimana jika media itu dimiki oleh seorang yang punya kepentingan pribadi yang kuat, dan berambisi untuk mencapai tujuannya dengan berbagai cara. Ini yang menjadi berbahaya bagai publik. Agenda media tidak lagi buah dari pemikiran dari keputusan bersama manajerial dan editorial, tetapi buah pikiran pemilik media yang mempunyai agenda pribadi.
Dari versi teori yang paling sederhana dan langsung, agenda media mempengaruhi agenda masyarakat dan agenda masyarakat mempengaruhi agenda kebijaksanaan. (Littlejohn, 2009:416) Teori ini dapat dipatahkan mana kala ada konglomerasi media, karena yang menentukkan agenda media adalah agenda politik dari pemilik media.
Kekuasaan pemilik media harus di batasi
Kekuasaan pemilik media harus di batasi, karena jika tidak dibatasi, agenda pribadi dapat masuk dalam semua isi berita. Contoh Di TV one tidak akan memberitakan berita buruk tentang lumpu lapindo. Atau saat ini yang sedang berlangsung, kasus “papa minta saham”coba dibandingkan pemberitaannya antar tv one dengan stasiun televisi lainnya. Aturan sudah ada, tinggal bagaimana cara menindaknya.
Penyusun Isu masyarakat
Para peneliti telah lama mengetahui bahwa media memiliki kemampuan untuk menyusun isu-isu bagi masyarakat. Salah satu penulis awal yang menrumuskan gagasan ini adalah Walter Lippmann seorang jurnalis Amerika terkemuka. Lippmann mengambil pandangan bahwa masyarakat tidak merespon pada kejadian sebenarnya dalam lingkungan, tetapi pada “gambaran dalam kepala kita”, yang ia sebut dengan “lingkungan palsu” (pseudoenvironment) : Karena lingkungan yang sebenarnya terlalu kompleks, dan terlalu menuntut adanya kontak langsung. Kita tidak dilengkapi untuk berhadapan dengan begitu banyak detail, begitu banyak keragaman, begitu banyak permutasi dan kombinasi. Bersama-sama kita harus bertindak dalam lingkungan, kita harus menyusun kembali dalam sebuah model yang lebih sederhana sebelum kita berhadapan dengan hal itu. Media memberitakan kita model sederhana dengan menyusun agenda bagi kita (Littlejohn, 2009:415)

Manusia tidak mampu mersepon gambaran secara langsung karena terlalu kompleks, media membuat media yang lebih sederhana, kita mempercayai agenda media tersebut. Padahal agenda media tersebut buah dari agenda pemilik media yang berkepentingan.  Agenda kita ditentukkan oleh orang lain ? Media teman yang berbahaya.

Saturday, April 18, 2015

Kepemilikan Silang Media adalah

Media Cross Ownership
  
Media Cross Ownership atau kepemilikan silang adalah Individu atau kelompok yang secara kombinasi memiliki baik secara langsung atau tidak langsung media cetak dan media penyiaran secara bersamaan. 
UU 32/2003 Pasal 18 ayat 2 “kepemilikan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio dan Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi, antara Lembaga Penyiaran Swasta dan perusahaan media cetak, serta antara lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran lainnya, baik langsung maupun tidak langsung, dibatasi” 



Aturan Konglomerasi Media Di Indonesia 
Intervensi Pemilik Media "Konglomerasi Media"
Bahaya Konglomerasi Media
Dampak Konglomerasi Media 
Regulasi atau Aturan Konglomerasi Media Di Indonesia 

Intergrasi Horisontal Media Adalah


Integrasi Horisontal media
  
Integrasi Horisontal Media adalah Penguasaan seseorang atau sekelompok orang terhadap  beberapa media yang berbeda, misalnya majalah, televisi, penerbitan buku, record labels, dan sebagainya dengan tujuan saling mendukung operasi dari masing-masing media. integrasi horizontal contohnya adalah Grup Jawa Pos yang memiliki jaringan media Cetak (koran lokal dan majalah) , jaringan Radio dan televis lokal  yang tersebar di seluruh Indonesia.



Aturan Konglomerasi Media Di Indonesia 
Intervensi Pemilik Media "Konglomerasi Media"
Bahaya Konglomerasi Media
Dampak Konglomerasi Media 
Regulasi atau Aturan Konglomerasi Media Di Indonesia 

Integrasi Vertikal Media adalah

 
Integrasi vertikal Media  

Intergrasi media adalah penguasaan seseorang atau sekelompok orang terhadap kepemilikan perusahaan media di berbagai tahapan produksi dan distribusi, dari hulu sampai hilir. misalnya sebuah perusahaan film secara vertikal meng­integrasikan aspek-aspek seperti agensi pencari bakat, studio produksi, rantai teater, produksi videocassette hingga rantai penjualan videocassette.
Contoh Contoh dari integrasi vertikal adalah Kelompok Kompas Gramedia (KKG) yang memiliki mempunyai rangkaian produksinya, dari pencetakan, penerbitan, dan pendistribusian karena mempunyai toko buku Gramedia. Selain Gramedia Jawa Pos juga demikian, bahkan Jawa pos mempunyai pabrik yang memproduksi pembuatan kertas, dan pembangkit listrik untuk proses produksinya.



Aturan Konglomerasi Media Di Indonesia 
Intervensi Pemilik Media "Konglomerasi Media"
Bahaya Konglomerasi Media
Dampak Konglomerasi Media 
Regulasi atau Aturan Konglomerasi Media Di Indonesia 

Konglomerasi Media Ancaman Kebebasan Pers

Konglomerasi Media Ancaman Kebebasan Pers 

Sejumlah kalangan mengaku sangat khawatir dengan perkembangan konglomerasi dalam kepemilikan media massa belakangan ini di Indonesia. Mereka meyakini, konglomerasi kepemilikan itu sudah sampai pada tahap mengancam kebebasan pers. 
Konglomerasi Media adalah penggabungan-penggabungan perusahaan media menjadi perusahaan yang lebih besar yang membawahi banyak media. Konglomerasi ini dilakukan dengan melakukan korporasi dengan perusahaan media lain yang dianggap mempunyai visi yang  sama. Pembentukan konglomerasi ini dengan cara kepemilikan saham, joint venture / merger, atau pendirian kartel komunikasi dalam skala besar. Akibatnya kepemilikan media yang berpusat pada segelintir orang. Contoh dalam hal ini Trans7 dan Trans TV berada pada payung bisnis yang sama yakni Trans Corp yang dikuasai oleh Chairul Tanjung , Global TV, RCTI dan TPI bergabung dalam Group MNC dan bertindak selaku pemilik di Indonesia adalah hary Tanoesoedibyo, TV One dan ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie Group dengan Boss utama Abu Rizal bakrie, SCTV yang sebahagian besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja, dan yang terakhir Metro TV dengan Surya Paloh pemimpinnya yang termasyhur karena wajahnya sering ditampilkan oleh TV yang dimilikinya sendiri.
 Kepemilikan berbagai macam perusahaan media massa, baik cetak, online, maupun elektronik, oleh satu konglomerat tertentu diyakini membatasi hak publik dalam memperoleh keberagaman informasi, pemberitaan, dan pandangan, yang sangat diperlukan dalam konteks berdemokrasi.
Sementara di sisi lain, keberadaan konglomerasi perusahaan media massa juga dianggap tidak memberi banyak kontribusi pada perlindungan dan peningkatan kesejahteraan para pekerja pers. Perusahaan juga diketahui sangat alergi terhadap keberadaan serikat pekerja media massa yang ada.
Penilaian tersebut terungkap dalam diskusi di Dewan Pers, Rabu (3/3/2010), yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama Dewan Pers, dengan tema "Konglomerasi Media: Ancaman atau Peluang bagi Kebebasan Pers".
"Akibat konglomerasi dan kekuasaan modal yang semakin tak tertahankan, keberadaan pemilik media massa di ruang redaksi menjadi sangat dominan. Mereka bahkan mampu mencengkeram media massa, yang sebenarnya selama ini bersikap independen," ujar Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Ignatius Haryanto.
Selain Haryanto, turut hadir sebagai pembicara, antara lain Abdul Manan (Federasi Serikat Pekerja Media Independen) dan anggota Dewan Pers Bambang Harimurti.  Juga datang sejumlah perwakilan pekerja media, yang beberapa waktu belakangan terkena dampak mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak.
Lebih lanjut, menurut Haryanto, praktik konglomerasi perusahaan media massa juga menciptakan berbagai kondisi merugikan lain, terutama ketika media massa kemudian hanya dijadikan sekadar corong demi kepentingan politik dan bisnis sang pemilik modal.
Dalam kondisi seperti itu, media massa dan pemberitaan yang dihasilkan menjadi sangat bias serta cenderung berbohong kepada publiknya. Bahkan, dalam beberapa kasus diketahui telah terjadi semacam ”malapraktik” pemberitaan media massa.
Pemberitaan dimanfaatkan oleh pemilik modal untuk menekan kelompok lawan, baik untuk kepentingan politik maupun bisnis, dari sang konglomerat atau bahkan untuk mempromosikan dan menguntungkan kelompok bisnisnya sendiri.
”Selain itu, bisa dibilang, perilaku pemilik media hampir rata, mereka sama-sama antiserikat pekerja dan mudah resah ketika para pekerja media massa mencoba bersatu membela kepentingannya. Belum apa-apa para aktivis serikat pekerja disingkirkan dengan berbagai alasan,” ujar Haryanto.
Padahal dalam perkembangannya, praktik konglomerasi justru merugikan dan itu tampak dalam sejumlah kasus seperti fenomena perkembangan multimedia di mana wartawan dituntut tidak hanya bekerja dalam satu moda industri, misal untuk media cetak saja, melainkan juga untuk beragam moda pemberitaan lain.
”Para pengusaha menyebutnya media konvergensi atau sinergi media. Namun, pada praktiknya wartawan diharuskan bekerja membuat berita dalam berbagai format mulai dari online, cetak, dan elektronik. Sementara di sisi lain, kesejahteraan mereka sama sekali tidak menjadi lebih baik dengan beban kerja yang bertambah itu,” ujar Haryanto.
Dalam kesempatan yang sama, anggota Dewan Pers Bambang Harimurti menilai konglomerasi media bisa jadi merugikan, tetapi di sisi lain bukan tidak mungkin pula bisa menguntungkan dan memberi peluang bagi kebebasan pers. Namun, semua itu tergantung pada pengaturan yang ada dan bagaimana aturan itu dilaksanakan.
Kelebihan konglomerat, menurut Bambang, memiliki kemampuan modal yang kuat sehingga mampu merugi dalam waktu lama untuk merebut pasar. Selain itu, dukungan modal kuat juga bisa diikuti kemampuan membayar gaji pengelola dengan baik dan juga membiayai pelatihan.
”Peraturan harus mampu menciptakan persaingan sehat, keberadaan media publik yang independen, transparansi kepemilikan akhir, keberimbangan posisi pemilik dan pengelola media, pemisahan penyedia infrastruktur dengan penyedia isi, dan keberagaman pers,” ujar Bambang.

Aturan Konglomerasi Media Di Indonesia 
Intervensi Pemilik Media "Konglomerasi Media"
Bahaya Konglomerasi Media
Dampak Konglomerasi Media 
Regulasi atau Aturan Konglomerasi Media Di Indonesia 
Konglomerasi Media Di Indonesia
Konvergensi Media dan Peran Pemilik Media

Konglomerasi Media Adalah

 Konglomerasi Media Di Indonesia

Kehidupan manusia modern tidak lepas dengan yang namanya media massa. Media massa seolah menjadi kebutuhan yang selalu harus di penuhi. Perkembangan industri media massa di Indonesia telah menempatkan media sebagai sentral dalam komunikasi massa yang mampu menyediakan kebutuhan informasi secara cepat mengenai suatu peristiwa. Menurut Lasswell dan Wright, komunikasi massa memiliki fungsi sosial sebagai surveillance, korelasi dan interpretasi, transmisi budaya dan sosialisasi, serta sebagai media hiburan.
Peranannya yang penting inilah yang membuat industri media massa berkembang sangat pesat dan membuat media massa tidak hanya sebagai sebuah institusi yang idealis, seperti misalnya sebagai alat sosial, politik, dan budaya, tetapi juga telah merubahnya menjadi suatu institusi yang sangat mementingkan keuntungan ekonomi. Sebagai institusi ekonomi, media massa hadir menjadi suatu industri yang menjanjikan keuntungan yang besar bagi setiap pengusaha. Di sini fungsi media mulai tergeser dengan kepentingan ekononi. Isi pemberitaan dalam media di isi oleh, pemberitaan yang paling menguntungkan pemilik media.
Seiring dengan perkembangan teknologi telekomunikasi dan informatika (telematika) yang cenderung konvergen (menyatu), konglomerasi media justru semakin menguat. Betapa tidak, kini hampir semua media massa milik konglomerat itu memiliki versi onlinenya. Dimana pun kita berada, secara offline maupun online, media konglomerasi mengikuti kita. Bahkan ada yang mengungkapkan makin kuatnya konglomerasi media seiring dengan keamajuan teknologi telematika adalah sebuah keniscayaan. Saat berbicara pada acara diskusi yang diselenggarakan oleh AJI pada tahun 2011 silam, Don Bosco Salamun dari Satu Media Holding mengungkapkan bahwa konglomerasi media di era konvergensi telematika adalah sesuatu yang sulit dihindarkan.
Konglomerasi Media adalah penggabungan-penggabungan perusahaan media menjadi perusahaan yang lebih besar yang membawahi banyak media. Konglomerasi ini dilakukan dengan melakukan korporasi dengan perusahaan media lain yang dianggap mempunyai visi yang  sama. Pembentukan konglomerasi ini dengan cara kepemilikan saham, joint venture / merger, atau pendirian kartel komunikasi dalam skala besar. Akibatnya kepemilikan media yang berpusat pada segelintir orang.
Konglomerasi di Indonesia menyebabkan satu orang dapat menguasai banyak media, sehingga orang tersebut dapat mengendalikan berbagai media dalam satu waktu, dari kebijakan yang harus dianut, berita mana yang layak di publikasikan, nilai-nilai yang dianut, dan sebagainya. Akibatnya jika media yang tergabung dalam satu grup tertentu maka berita dan informasi yang disampaikan akan homogen. Selain itu berita yang disampaikah hanya berita yang dianggap menguntungan secara ekonomi. Akhirnya Pers tidak lagi dinilai dari seberapa besar nilai berita yang ada, tetapi berapa banyak keuntungan yang akan didapatkan dari pemuatan berita tersebut. Sebetulnya ini merupakan tanda-tanda bahwa tidak ada regulasi yang mengatur tentang kepemilikan media.
Manajemen media haruslah memisahkan antara redaksi pemberitaan dan unsur bisnis, sehingga menghindari adanya intervensi pemberitaan karena faktor bisnis. Media harus menyadari tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat sehingga faktor kepentingan pemilik media seperti kepentingan politik pemilik media sebaiknya dipisahkan dengan objektifitas media tersebut, karena media bersifat independen dan loyal kepada masyarakat. Pemberitaan yang mengandung informasi kepada publik yang disampaikan harus mengandung kebenaran yang mencakup akurasi, pemahaman publik, jujur dan berimbang. Keseimbangan dalam pemberitaan atau penyiaran tersebut termasuk menyangkut sebuah opini dan perspektif atas suatu kasus. 
Konglomerasi di Indonesia menyebabkan satu orang dapat menguasai banyak media muncul, sehingga orang tersebut dapat mengendalikan berbagai media dalam satu waktu, dari kebijakan yang harus dianut, berita mana yang layak di publikasikan, nilai-nilai yang dianut dan sebagainya. Akibatnya jika media yang tergabung dalam satu group tertentu maka berita dan informasi yang disampaikan akan homogen. Selain itu berita yang disampaikah hanya berita yang dianggap menguntungan secara ekonomi. Akhirnya Pers tidak lagi dinilai dari seberapa besar nilai berita yang ada, tetapi berapa banyak keuntungan yang akan didapatkan dari pemuatan berita tersebut. Sebetulnya ini merupakan tanda-tanda bahwa tidak ada regulasi yang mengatur tentang kepemilikan media.
Contoh ANTV karena saham terbesarnya milik keluarga Bakri, maka bagaimana pun tidak akan pernah ada berita yang akan mengangkat lumpur lapindo dan penderitaan masyarakat yang ada di sana. Televisi lain adalah Metro TV yang sering kali menyiarkan pemberitaan tentang Partai Nasional Demokrat, padahal kalo diperhatikan nilai berita mungkin tidak terlalu tinggi. Tetapi karena kepentingan pemiliknya maka berita tersebut sering muncul. 


Aturan Konglomerasi Media Di Indonesia 
Intervensi Pemilik Media "Konglomerasi Media"
Bahaya Konglomerasi Media
Dampak Konglomerasi Media 
Regulasi atau Aturan Konglomerasi Media Di Indonesia 

Monday, April 13, 2015

Konglomerasi Media MNC

 
 
 Konglomerasi Media MNC
 
Konglomerasi Media adalah penggabungan-penggabungan perusahaan media menjadi perusahaan yang lebih besar yang membawahi banyak media. Konglomerasi ini dilakukan dengan melakukan korporasi dengan perusahaan media lain yang dianggap mempunyai visi yang  sama. Pembentukan konglomerasi ini dengan cara kepemilikan saham, joint venture / merger, atau pendirian kartel komunikasi dalam skala besar. Akibatnya kepemilikan media yang berpusat pada segelintir orang. Contoh dalam hal ini Trans7 dan Trans TV berada pada payung bisnis yang sama yakni Trans Corp yang dikuasai oleh Chairul Tanjung , Global TV, RCTI dan TPI bergabung dalam Group MNC dan bertindak selaku pemilik di Indonesia adalah hary Tanoesoedibyo, TV One dan ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie Group dengan Boss utama Abu Rizal bakrie, SCTV yang sebahagian besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja, dan yang terakhir Metro TV dengan Surya Paloh pemimpinnya yang termasyhur karena wajahnya sering ditampilkan oleh TV yang dimilikinya sendiri. 
 
Baru-baru ini konglomerasi media dapat dirasakan oleh publik sebagai masalah. 
 kasus Konglomerasi Media di MNC
 
Dalam rapat redaksi RCTI Jumat pagi, 23 Mei 2014 kemarin, Pemimpin Redaksi RCTI Arya Sulingga marah besar. Pria yang dikenal sebagai tangan kanannya bos MNC Group Hari Tanoesudibyo ini tidak bisa menyembunyikan kemarahannya karena tidak bisa mengendalikan awak redaksinya di mana kepentingan politik  bos MNC Group di salah satu pasangan capres diketahui publik. Arya Sulingga sangat murka karena kebijakan redaksi RCTI bocor ke luar. Meski demikian hal ini tidak menghentikan langkahnya.
Memang, sejak Jumat (23/5/2014) semua Eksekutif Produser sebagai penanggung jawab program RCTI diinstruksikan oleh Pemred dan Wapemred (Eddy Soeprapto) untuk tidak menayangkan berita korupsi dana haji dengan tersangka Suryadharma Ali (SDA) di Seputar Indonesia, Jumat sore, 23 Mei 2014. Serta tidak memberi ruang kepada KPK dalam kasus ini.
Koordinator Nasional Jokowi Keren (JOKER) Indonesia Budi Mulyawan yang juga mantan anggota DPRD DKI Jakarta menilai, mestinya RCTI sebagai  media nasional ternama di Indonesia bersikap netral dan tidak mengganggu kebijakan Pemred RCTI yang selama ini masih dirasakan independen oleh  para pemirsanya.
Menurut Budi, soal pemberitaan Pemilu 2014 maupun pemberitaan lain, media itu seharusnya berpihak pada kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
“Terlebih lagi ini masalah pemberantasan korupsi. Media harus pada posisi terdepan dan bersikap netral dan bebas dari tekanan siapapun,” ungkap Budi, dikutip dari SICOM.
Budi Mulyawan menegaskan akan menyampaikan hal tersebut ke dewan pers agar memberikan tindakan dalam bentuk teguran maupun pemanggilan untuk mengklarifikasi atas kebijakan bos MNC Group Hari Tanoesudibyo.
“Saya rasa pihak dewan pers harus segera menegur kebijakan bos MNC Group tersebut. Kalau tidak didengar, maka saya berharap kepada dewan redaksi RCTI wajib mengevaluasi jabatan yang disandang Pemred RCTI tersebut,” tegas Budi.
Lebih lanjut Budi mengajak kepada seluruh media masa nasional baik online, cetak maupun elektronik untuk bersatu dan merapatkan barisan demi untuk membantu kawan-kawan redaksi RCTI yang berjuang menegakkan independensi.
“Ayo lawan konglomerasi media. Frekuensi adalah milik publik,” tandasnya.(*/bw)

 

Konglomerasi Media "Perkembangan Teknologi"

 Pengaruh Perkembangan Teknologi "Konglomerasi media"
Pengaruh Perkembangan Teknologi
Menurut teori determinisme teknologi, kehidupan masyarakat ditentukan oleh teknologi komunikasi yang digunakan. Perubahan sosial dan kemasyarakatan yang terjadi,  tersentralisasi karena kehadiran teknologi komunikasi. Diakui dalam sejarah perkembangan manusia, teknologi komunikasi berperan penting dalam perubahan sosial yang terjadi. Everett M Rogers (1986) mengatakan bahwa penemuan tulisan atau teknologi tulisan (writing) telah menyebabkan perkembangan teknologi cetak menjadi sangat pesat.  Sementara itu penemuan teknologi telekomunikasi dan komputer telah membawa pengaruh besar terhadap kemajuan teknologi interaktif. [11]
            Dalam pandangan determinisme teknologi, kehidupan masyarakat tergantung pada mesin-mesin teknologi komunikasi yang ditemukan. Menurut Harold Adam Innis (1989) dari Toronto School, setiap teknologi komunikasi yang dominan digunakan masyarakat, memiliki bias dalam hal pengaruhnya terhadap bentuk masyarakat itu sendiri.[12]
            Determinisme teknologi komunikasi menjelaskan bahwa rangkaian penemuan dan aplikasi teknologi komunikasi telah mempengaruhi perubahan-perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Perkembangan teknologi yang begitu pesat di Indonesia, tentu juga memiliki pengaruh yang signifikan.
Daniel Dakhidae dalam studi doktornya mencatat bahwa implikasi inovasi teknologi cetak telah mempengaruhi ekspansi bisnis surat kabar menjadi kian besar dan membutuhkan dukungan manajemen yang lebih profesional. Berkat perkembangan teknologi, terjadi intensifikasi kerja jurnalistik, yang pada akhirnya mendorong ekspansi di bidang lain. Terjadilah ekstensifikasi bisnis yang berkait dengan pemanfaatan teknologi tersebut. Itu berarti perkembangan sarana teknologi tidak berarti hanya sekedar perkembangan teknologi semata, melainkan juga merupakan adanya transformasi kapital. Menurut Daniel, teknologi bukanlah sekadar sarana, namun merupakan jantung persoalan yang dirasakan telah merubah bentuk produksi komoditas yang sederhana menjadi bentuk produksi yang sangat maju dengan tujuan, ”to have more, to be more in order tobe more”[13].  Lebih lanjut dalam kesimpulannya Dakhidae mengatakan bahwa, kombinasi antara teknologi tinggi dengan tingkat integrasi antara industri baru dengan industri yang lain memiliki pengaruh nyata pada kapitalisme.  Teknologi telah mendorong terjadinya konsentrasi industrial menjadi industri baru.[14]
Kecenderungan di atas secara teoritik juga terjadi pada perkembangan teknologi baru dewasa ini. Teknologi interaktif melalui komputer misalnya, berpotensi mempengaruhi perubahan intensitas sosial untuk tatap muka secara leangsung. Semakin banyak pergeseran bentuk interaksi sosial, dari yang kongkrit menjadi virtual karena teknologi. Dengan teknologi interface, orang dengan mudah menjadi get connected atau terhubungkan, tanpa batasan jarak (space) dan waktu (time). Maka yang terjadi adalah, revolusi komunikasi telah menyebabkan revolusi-revolusi sosial dalam masyarakat.
Fenomena munculnya teknologi konvergensi terjadi ketika teknologi komputer, telekomunikasi, dan media massa menyatu dalam lingkungan digital secara bersama, atau yang didefinisikan oleh Pavlik dan McIntosh [15]the coming together of computing, telecommunications, and media in a digital environment is known as convergence.” Konvergen bisa juga diartikan bergabungnya perusahaan internet dengan perusahaan-perusahaan media tradisional.
Konvergen juga berarti menyatunya media massa seperti media cetak, audio, dan video kedalam satu media digital. Walaupun sebenarnya definisi tentang konvergen yang ada belum semuanya disepakati oleh banyak pihak, namun yang terpenting, konvergen adalah transformasi dari sifat alamiah komunikasi massa, ke dalam bentuk yang baru dengan implikasi-implikasi yang baru juga.
Konvergensi pada akhirnya menyebabkan transformasi tidak hanya pada organisasi media maupun pada kalangan kreatif atau profesional media yang bekerja di organisasi media, melainkan juga menyebabkan transformasi pada khalayak, bahkan pemerintah atau negara sebagai otoritas regulator, dan juga industri. Perubahan teknologi media telah membawa paradigma baru yang terjadi karena digitalisasi media dan jaringan media massa yang semakin meluas dan konvergens.
Bagi dunia industri, implikasi dari konvergensi teknologi komunikasi, bukan sekadar berubahnya sarana. Menggunakan istilah Daniel Dakidae; “It means technology is not just a technology, It is transformed into capital.”[16] Dengan konvergensi terjadi kecenderungan merger atau bergabungnya institusi media dengan institusi media yang lain semakin kuat. Pada akhirnya, kondisi ini akan menghasilkan sentralisasi kekuatan media pada satu institusi. Keragaman kepemilikan menjadi semakin sulit karena telah menjadi bisnis hyper capital. Semakin banyak media yang melakukan merger, maka semakin sulit untuk dikontrol.[17] Hal semacam ini berpengaruh terhadap berbagai konsep bagaimana sistem penyiaran yang demokratis harus dioperasionalkan. Itulah konsekuensi dari perkembangan teknologi komunikasi yang melahirkan konsep konvergensi media.
tidak perlunya kekhawatiran yang berlebihan terhadap terjadinya konsentrasi media. Karena akan menghambat perkembangan industri media penyiaran Indonesia menjadi perusahaan yang kuat dan kompetitif secara global. Sementara membiarkan seluruh sumber daya frekuensi dikuasai oleh segelintir orang juga akan memunculkan persoalan.  Maka diperlukan suatu konsep yang seimbang antara dua kepentingan itu. Kekhawatiran berlebihan pada konsentrasi media, bertentangan dengan bukti empiris bahwa tidak ada kontrol yang sempurna terhadap konten media, kendati oleh pemiliknya sendiri. Dengan kata lain kekuatan kapitalisme dalam industri penyiaran, lebih hanya pada kontrol asset atau kekayaan media, sementara kontrol terhadap isi, tidak mungkin efektif secara sempurna. Karena para pekerja media memiliki logika sendiri, mereka senantiasa mempertimbangkan kepentingan pasar, dan kehendak khalayak, baik dalam pemberitaan maupun program. Peran rating amat tinggi, ia menjadi ukuran keberhasilan penetrasi media, sekaligus pedoman isi untuk melangsungkan hidupnya. Tanpa memperhitungkan rating atau keinginan khalayak, industri media tidak akan hidup. Rating bukan hanya menjadi barometer, melainkan juga ”filter”  bagi ”ownership control”.
Disamping itu, format isi penyiaran juga bisa menjadi kontrol, bila senantiasa dikaitkan dengan surat izin yang diberikan oleh negara. Lembaga penyiaran swasta yang berubah format siarannya, berarti mengingkari kontrak, yang menjadi  alasan diberikannya izin, karena itu idealnya, apabila ada media penyiaran yang berubah format isinya, berarti  bisa dicabut izinnya. Sedangkan perubahan pemilikam saham, bisa tetap dimungkinkan, asal tidak merubah format isi siaran. Disinilah perlunya peran pengawasan KPI.
Menurut Baker apa yang dikemukakan Bagdikian, ataupun Mc Chessney  adalah dramatisasi fakta dan pemikiran. Baker mengutip pendapat Benjamin Compaine mengatakan, “because of internet, whatever concentrated media power that existed previously “is breaking up”,  conclusion that objectionable concentration does not exist, especially as properly evaluated in respect to the media as a whole[18] Menurut Baker internet telah merubah segalanya, karena menyajikan berbagai alternatif dan isinya tidak dapat dikontrol secara sempurna oleh siapapun. Dikatakan Baker, perkembangan teknologi tetap akan menjamin adanya diversity of voices  karena media yang beragam, sesuai dengan pasar  ide mereka, akan memiliki suara yang beragam pula. Baker dalam kesempatan yang lain juga mengatakan, bahwa konsentrasi kepemilikan tujuannya selain efisiensi, untuk memperkuat perusahaan dalam persaingan pasar dunia. Disimpulkannya konsentrasi kepemilikan merupakan sarana yang menguntungkan untuk perusahaan Amerika mendominasi pasar dunia (media concentrations of media ownership beneficially aids American firm domination of world markets)[19].
Hasil studi ini sejalan dengan thesis Baker mengenai konsentrasi media. Kekhawatiran yang berlebihan terhadap konsentrasi pemilikan media perlu ditinjau kembali, karena konsentrasi tidak identik dengan monopioli. Konsentrasi merupakan keniscayaan sejarah karena perkembangan tekonologi dan tuntutan bisnis. Membetasi konsentrasi secara berlebihan akan menghambat perkembangan industri penyiaran menjadi perusahaan yang mampu berkompetisi secara global. Alasan yang lain, studi ini mengungkapkan pula, bahwa tidak ada kontrol yang sempurna terhadap konten media, kendati oleh pemiliknya sendiri.  Isi media senantiasa mempertimbangkan kepentingan pasar, dan kehendak khalayak, sehingga rating berperan tidak hanya sebagai ukuran penetrasi media, tetapi juga pedoman isi untuk melangsungkan hidupnya. Industri media tanpa memperhitungkan rating atau keinginan khalayak tidak akan hidup. Jadi rating bukan hanya sebagai barometer, melainkan juga ”filter”  bagi ”ownership control” terhadap isi. Dengan demikian demokrasi tidak sepenuhnya terancam oleh kepemilikan media semata, ada kekuatan pengontrol terhadap “the power of ownership”. Terlebih lagi berdasar studi ini, perkembangan teknologi komunikasi konvergensi tidak bisa dihindarkan akan memunculkan konsekuensi baru, termasuk  konsentrasi kepemilikan. Perkembangan teknologi juga memunculkan berbagai bentuk alternatif media, baik yang  berdasar keberagaman segmen pasar, hingga bentuk media baru yang bersifat interaktif. Teknologi interaktif inilah kemudian memunculkan citizen journalism,  dan terbentuknya public sphere yang menggairahkan partisipasi publik, sehingga justru mendukung iklim demokrasi.
Jadi bisa disimpulkan bahwa dalam sistem penyiaran yang diikuti perkembangan teknologi yang semakin modern, juga keberadaan independent regulatori body yang berfungsi mengawasi isi media secara baik, konsentrasi pemilikan media tidak akan membahayakan secara signifikan terhadap sistem penyiaran yang demokratis, khususnya tidak serta merta menghilangkan diversity of contens and opinions. Dengan kesimpulan tersebut, berarti studi ini sejalan dengan pemikiran, atau teori yang dikemukakan oleh Edwin C. Baker.
Implikasi penerimaan thesis Baker tadi, berarti mengoreksi konsep sistem penyiaran yang demokratis dari Denis McQuail, yang salah satunya mengharuskan adanya diversity of ownerships, yang kemudian diterjemahkan pemilikannya harus banyak dan beragam, serta membatasi adanya akuisisi, mereger hingga konsentrasi. Di masa depan, konsepsi semacam ini akan semakin sulit dipenuhi, karena bertentangan dengan trend teknologi, kecenderungan bisnis, hingga semakin tidak relevannya alasan yang mendasari konsep tersebut. Dengan standpoint ini, berarti berimplikasi pula terhadap perlunya peninjauan kembali mengenai regulasi keragaman kepemilikan, sebagaimana yang juga tertuang dalam Undang-Undang Penyiaran dan Peraturan Pemerintah no 50 tahun 2005. 
 

Bahaya Konglomerasi Media

Efek Berbahaya Konglomerasi media
Efek Yang  Berbahaya?
Itu semua, efek liberalisasi media yang memuja pasar bebas. James Curran, profesor komunikasi dari University of London, dalam  Rethingking Media and Democracy (2000: 121-154), mengkritik fenomena tersebut. Menurutnya dengan liberalisme, justru mendorong media melakukan korupsi dan bias mekanisme pasar. Dengan liberalisme peran media sebagai watchdog terhadap kekuasaan, tidak memunculkan sikap independensi untuk melayani kepentingan publik, melainkan lebih untuk keuntungan perusahaan.  Liberalisme menghambat freedom to publish. Menciptakan kondisi media sebagai  big business yang membutuhkan pemodal kuat,  sehingga yang mampu mengelola dan memilikinya hanyalah para baron yang elitis.  Liberalisme dan pasar bebas juga mereduksi perputaran informasi publik, dan meningkatkan jumlah masyarakat yang tidak  well informed.  Karena semakin besarnya porsi penempatan isi hiburan atau human interest dan meminggirkan liputan public affairs, atau program yang mencerdaskan. Ini mengurangi bobot demokrasi, sebab kontrol terhadap public affair menjadi semakin elitis, keterlibatbatan masyarakat menjadi semakin kecil, padahal salah satu prasarat demokrasi adalah partisipasi publik. 
Jadi, strategi merger bukanlah upaya untuk meningkatkan pelayanan kepada kepentingan publik, melainkan lebih merupakan strategi bisnis semata. Sejalan dengan komersialisasi media yang makin dominan. Produk media yang dihasilkan cenderung diarahkan ke dunia hiburan yang acapkali tidak mendidik. Alih alih mencerdaskan khalayaknya, yang terjadi justru sebaliknya, memberikan kontribusi pada proses pembodohan dan ketidakcerdasan publik. Bagaimana publik akan cerdas, jika melalui program-program yang memuja rating itu, masyarakat hanya diajak ketawa, atau menangis, dengan lawakan dan sinetron? Sedang fungsi informasi dan edukasi, teramat sedikit. Jadinya media massa hanya  menjadi sarana hiburan semata. Civic education untuk demokrasi menjadi semakin terabaikan.  Padahal hasil dari sistem demokrasi amat ditentukan oleh kualitas orang banyak yang memiliki hak suara. Tanpa kualitas, demokrasi hanya akan menghasilkan keburukan dan ironi-ironi
Satu hal yang paling dikhawatirkan atas konsentrasi pemilikan adalah ancamannya terhadap keragaman isi (diversity of content), terutama yang menyangkut pemberitaan. Pengaruh kekuasaan  pemilik dan pengelola media terhadap pemberitaan, memang sempat dipertanyakan korelasinya. Namun berdasar berbagai studi,  sebagaimana dilakukan oleh Altschull (1984) yang hasilnya sering disebut sebagai Second Law of Journalism, dikenal istilah; “the content of  the media always reflect the interest of those who finance them” (McQuail, 2002 : 198). 
Inilah yang dibenarkan banyak kritisi media, bahwa bagaimanapun para pemilik media amat menentukan isi medianya. Disitulah kemudian para pemilik media memiliki kekuatan dengan korporasinya. Kekuatan itu tidak hanya dipakai untuk kepentingan bisnis semata, tetapi juga untuk menentang peraturan yang akan “membatasi” mereka. Bahkan tak jarang para pemilik media karena menyadari posisinya, mereka melibatkan diri dalam politik, dan menggunakan medianya untuk kepentingan politik. Walhasil para mereka ini amat menentukan siapa yang akan mendapat dukungan publik.
Di luar negeri, Silvio Belusconi merupakan contoh yang tepat. Belusconi pemimpin partai Forza Italia, merupakan konglomerat media yang menguasai penerbitan dan televisi di Itali. Dengan popularitasnya sebagai pemilik AC Millan, ia pun dua kali menduduki jabatan Perdana Menteri Italia. Ini semua tak lepas dari kemampuan Belusconi mengendalikan sumber daya media (Paul Satham, 1996: 88).
Ruperth Murdoch, yang sekarang ikut memiliki ANTV, juga punya reputasi bermain politik, baik di negara asalnya, Australia,  Inggris, dan Amerika Serikat.  Pada Pemilu tahun 1970 Murdoch mendukung partai Buruh Australia dengan memberikan rubrik khusus di medianya, agar partai tersebut lebih dikenal masyarakat. Di tahun 1990-an Murdoch dicatat mengambil alih tabloid  The Sun, The Times dan Sky B television di Inggris. Melalui media-medianya tersebut ia memberikan dukungan pada partai Buruh dan Tony Blair pada pemilihan Perdana Menteri Inggris tahun 1997. Dengan dukungan Murdoch, Tony Blair berhasil menggusur John Major. Hal yang sama dilakukan Murdoch di Amerika Serikat. Mulanya Ia harus rela pindah kewarganegaraan supaya bisa memiliki televisi di AS. Dengan jaringan Fox TV, Murdoch mendukung partai Republik dan George W. Bush dalam pemilu Presiden 2004 lalu. Hasilnya, Bush-pun menang.
Jadi, kecenderungan para pemilik media menggunakan pengaruhnya atau kekuasaannya dengan isi media dan berita-beritanya merupakan kenyataan yang sering terjadi. Nah, bagaimana jadinya jika para pemiliki media semakin lama jumlahnya semakin sedikit? Berarti check and balances antar-media semakin melemah juga. Menurunnya  pluralitas pemilikan, akan berpengaruh terhadap menurunnya prularitas isi, terutama dalam hal informasi. Jika demikian bukankah sistem demokrasi yang berlangsungpun, juga ditentukan dan dipengaruhi oleh jumlah orang yang semakin sedikit pula?
Karena Media Power
Logika, terancamnya demokrasi itu karena diakui bahwa kekuatan media (media power) memang sangat signifikan mempengaruhi akses terhadap politik dan partisipasinya. Ada tiga macam  bentuk kekuatan media terhadap politik, yaitu:
Pertama adalah discursive power. Ini didasarkan pada asumsi “pengetahuan atau informasi itu adalah kekuatan”. Media memiliki peran mendistribusikan informasi yang didapatkannya, sehingga dapat disimpulkan media merupakan pemilik dari sesuatu kekuatan yang cukup signifikan. Karena orang-orang itu berpikir dan berperilaku sesuai dengan apa yang ia dengar, baca, atau lihat di media massa. Dengan kata lain, media berperan sebagai pembentuk opini publik, dan common sense. Terlebih pada masyarakat modern yang memang menggantungkan informasinya dari media massa.
Kedua access power, dengan dimilikinya peran sebagai pendistribusi informasi, media memiliki otoritas mengatur keluar masuknya (peredaran) informasi yang akan disebarkan ke publik. Dapat dipastikan, siapapun yang mengendalikan media massa dapat secara leluasa menggunakan access power yang melekat pada media massa tersebut.
Ketiga, resource power. Dengan adanya discursive power dan access power yang melekat pada media massa, maka institusi dan pemilik media memiliki posisi tawar yang cukup untuk mempengaruhi perilaku pemerintah, dan bargaining position yang lain. Hal tersebut disebabkan oleh kebutuhan pemerintah dalam hal pencitraan diri terhadap masyarakat, yang jelas-jelas sangat membutuhkan peranan media massa.
Nah, lalu apa jadinya kalau pemilik dan pengelola media jumlahnya semakin sedikit? Sementara mekanisme kontrol terhadap media penyiaran juga belum berjalan sebagaimana seharusnya. Di negara maju yang aturan hukum dan etikanya telah mapan saja banyak persoalan, apalagi di negara Indonesia yang masih belajar berdemokrasi, dan sering mengabaikan aturan hukum dan etika? Lalu apa Jadinya nanti?
Terlebih dalam sistem pemilihan presiden secara langsung, peran media massa, khususnya televisi amat signifikan. Sungguh mengkhawatirkan bila stasiun-stasiun televisi itu hanya berada di genggaman segelintir orang.  Memang benar dalam demokrasi pemilihan presiden ditentukan oleh rakyat banyak. Tapi dari mana rakyat banyak itu memperoleh informasi politik yang cukup tentang para pemimpinnya? Tak lain adalah media massa, terutama televisi. Media televisi memiliki kekuatan dominan, karena jumlah penonton televisi di Indonesia jauh lebih banyak dari media lainnya. Kalau sekarang sudah terdapat lebih dari 30 juta pesawat televisi, kalau satu pesawat TV rata-rata ditonton 5 orang, berarti yang potensial menonton televisi ada 150juta pemirsa. Belum lagi waktu luang yang dipakai menonton televisi-pun, menurut data jauh lebih lama dibandingkan waktu yang dipakai untuk menggunakan media lain. Walhasil televisi memang dominan.  
Disinilah pentingnya mengkritisi konsentrasi pemilikan media televisi di Indonesia. Kehidupan sosial politik tidak bisa dilepaskan dari struktur dan sistem media massa. Kalau kita sudah komitmen akan menegakkan demokrasi di negeri ini, maka sistem medianyapun harus mencerminkan struktur yang demokratis pula, baik  dalam keragaman kepemilikan, maupun keragaman isinya. Tanpa berjuang merubah sistem media, mustakhil sistem demokrasi politik dapat ditegakkan dengan baik. Itulah salah satu inti kutipan Robert Mc Chesney di awal tulisan ini. Persoalannya, sudahkah kita berjuang untuk merubah sistem media kita yang cenderung sentralistik dan terkonsentrasi pemilikannya di segelintir orang? Jika ini kita biarkan, berarti kita membiarkan pula ancaman terhadap demokrasi.
Dengan tuntutan liberalisasi, di satu sisi industri penyiaran menjadi semakin bebas dari kontrol negara atau pemerintah. Di sisi yang lain, industri penyiaran akan semakin rentan terhadap represi rejim kapital, atau kediktatoran pasar (market dictatorship), yang beroperasi melalui the invisible hand mekanisme pasar. Prinsip mekanisme pasar mendasarkan diri pada kaidah-kaidah permintaan penawaran, rasionalitas instrumental maksimalisasi produksi konsumsi, serta logika never ending circuit of capital accumulation: M-C-M (Money-Commodities-More Money). Khususnya dalam industri penyiaran, represi rejim kapital tersebut berlangsung di dua front: pasar khalayak, dan juga pasar industri periklanan.[1]   
Media massa khususnya penyiaran sebagai industri informasi, hiburan dan budaya, acapkali dimanfaatkan untuk menginklusi kepentingan-kepentingan kapitalisme. Kalau Althusser menganggap media massa berperan sebagai ideological state aparatus, dalam konteks ini media massa penyiaran justru dijadikan sebagai alat kapitalisme untuk mempertahankan kepentingannya.
            Peter Golding dan Graham Murdoch melihat media massa bukan sebuah entitas yang monolitik, dalam praktik pemilik bisa memiliki nilai yang berbeda dengan para pekerja profesional. Hanya saja dalam kenyataannya kepentingan kapitalisme dan kekuatannya  bisa mereduksi perbedaan tersebut. Disadari atau tidak, kalangan profesionalisme media yang pada dasarnya merupakan bagian dari civil society telah dimanfaatkan oleh kapitalis. Karya-karya mereka telah digunakan sebagai jembatan untuk meluaskan budaya konsumsi, tujuannya supaya kaum proletar tetap tunduk, dan kapitalisme tetap berjalan.
Industri informasi dan budaya yang ada dalam dunia media massa telah menjadi faktor ekonomi politik yang penting, yang sering mengalihkan perhatian dari masalah yang sebenarnya dialami masyarakat luas, dengan menawarkan solusi palsu tersebut. Disitulah sebenarnya media massa sebagai industri budaya telah membantu memanipulasi kesadaran.
Repotnya kecenderungan industri media memang menuju pada kondisi yang ”mengkhawatirkan”. Kecenderungan struktur industri media di dunia, dalam beberapa tahun terakhir ini menurut David Croteau dan Wiliam Hoynes mengalami empat macam perkembangan, yaitu: 1) Growth, pertumbuhan yang pesat, diwarnai dengan fenomena mergers antar perusahaan atau joint, sehingga menjadi makin besar dan merambah ke mana-mana. 2)  Integration,  raksasa media baru terintergrasi secara horisontal dengan bergerak ke berbagai bentuk media seperti film, penerbitan, radio, televisi, internet, dan sebagainya. Integrasi perusahaan media baru juga terbentuk secara vertikal, dengan memiliki perusahaan di berbagai tahapan produksi dan distribusi. 3) Globalization, untuk meningkatkan derajat keragaman, konglomerat media telah menjadi entitas global, dengan jaringan pemasaran yang menembus yuridiksi negara dan menjadi mendunia. 4) Concentration of ownership, kepemilikan holdings media yang menjadi meanstream dunia  semakin terkonsentrasi kepemilikannya.[2]
Sebenarnya Amerika Serikat secara sadar memang melakukan banyak deregulasi di bidang konsentrasi media, ini dilakukan tidak lain  untuk mendorong perusahaan mereka menjadi penguasa pasar dunia. Ada anggapan, konsentrasi kepemilikan merupakan sarana yang menguntungkan untuk perusahaan Amerika mendominasi pasar dunia (media concentrations of media ownership beneficially aids American firm domination of world markets)[3]  
Gejala konsentrasi pemilikan ini menurut Josef dan Meier, telah menjadi salah satu persoalan penting dalam hal diskusi tentang perkembangan ekonomi media. Diskusi tersebut umumnya memfokuskan pada akibat, hasil dan konsekuensi dari fenomena konsentrasi media. Beberapa isu utama yang sering dibahas adalah: pertama, kebijakan konsentrasi media merupakan masalah politik yang sensitif. Biasanya sistem politik memiliki perhatian terhadap hukum media, namun sering kesulitan dalam proses legislasi, dan lebih sulit lagi dalam melaksanakannya. Kedua, konsentrasi media memiliki sisi positif dan negatif untuk perkembangan kekuatan elit politik. Bagi politisi, konsentrasi media dengan jumlah perusahaan media yang sedemikian rupa memudahkan mereka untuk mempengaruhi khalayak yang luas. Karena itu dalam membuat kebijakan yang berkait dengan konsentrasi media, menempatkan aktor politik dalam posisi menguntungkan media. Karena itu sistem politik tidak sepenuhnya meletakkan masalah konsentrasi media sebagai agenda politik[4]
Tuntutan agar negara memiliki peran yang lebih besar mengembangkan kebijakan yang bersifat intervensi  untuk menjamin kompetisi yang adil, menjaga keragaman dan pluralitas, memunculkan beberapa model yang berbeda-beda dalam berbagai tingkat di level nasional maupun transnasional. [5] Berikut ini, beberapa contoh model kebijakan menghadapi konsentrasi media di tingkat nasional yang dilakukan beberapa negara sebagai upaya menghadapi efek liberalisme [6]
Pertama adalah Model  Pembatasan konsentrasi horizontal,  kebijakan ini untuk mencegah korporasi media mengontrol beberapa saluran, sehingga dimunculkan regulasi yang membatasi pemilikan media-media sejenis, misalnya tidak boleh di suatu propinsi semua radio hanya dimiliki oleh sebuah korporasi saja. Mayoritas negara Eropa melakukan kebijakan membatasi ijin, kepemilikan dan partisipasi finansial. [7] -         
Kedua, Pembatasan konsentrasi vertikal, regulasi dirancang untuk mencegah monopoli media di lebih dari satu wilayah. Biasanya disebut sebagai kepemilikan silang (cross ownership). Misalnya larangan atau pembatasan pemilikan atas beragam media dari hulu hingga hilir. Kebijakan pembatasan semacam ini diterapkan di Jerman, Belanda dan Inggris.[8] -
            Di Indonesia, tatkala reformasi terjadi, upaya utama yang diperjuangkan adalah kebebesan pers. Kemudian tatkala kebebasan telah diperoleh, dan media penyiaran berkembang begitu pesat, konsepsi untuk mewujudkan sistem yang adil dan demokratis menjadi persoalan tersendiri. Di satu sisi media penyiaran telah berkembang sesuai sifat alaminya sebagai institusi bisnis dan industri. Di sisi yang lain tuntutan menata dunia penyiaran melalui regulasi baru, datangnya belakangan. Terjadilah tarik ulur kepentingan yang memasukkan wacananya ke dalam aturan baru, atau interpretasi terhadap aturan tersebut.
            Dari uraian di atas, tulisan ini ingin mengungkap lebih jauh, bagaimana sebenarnya relasi antara negara, industri penyiaran, dan civil society dalam hal membangun sistem penyiaran yang demokratis. Kalau pada masa Orde Baru, paradigma korporatisme negara menunjukkan kuatnya peran  negara mengontrol kapitalisme dan civil society. Setelah reformasi, civil society yang diharapkan mampu mengontrol negara dan kapitalisme, sebagaimana tatanan demokrasi berdasar konsepsi Habermas, juga Cohen dan Arato ternyata belum terjadi. Disinyalir dikarenakan adanya anomali sebagai efek liberalisasi, justru kapitalismelah yang kemudian mengontrol negara dan civil society. Pasca reformasi negara mengalami pelemahan karena liberalisasi dan demokratisasi, kemudian menurut Robison munculah fenomena konsolidasi kekuasaan negara.[9]  Itulah yang oleh Hermin Indah Wahyuni dilihat sebagai fenomena re-regulating pasca terjadinya transformasi politik 1998[10].
Jadi pasca reformasi di Indonesia, pola hubungan negara, industri (pasar) dan civil society, secara teoretik dapat dipilah menjadi beberapa kemungkinan bentuk pola hubungan, yaitu:
A.    Pola korporatisme negara, yaitu tatkala negara kembali ke pola lama seperti pada massa Orde Baru, dimana  negara amat kuat dan mampu mengontrol kapitalisme dan civil society.
B.     Pola dominasi civil society  mengontrol negara sekaligus juga mengontrol kapitalisme, sebagaimana yang diharapkan kalangan civil society yang radikal, atau  juga dalam konsepsi Habermas.  
C.     Pola kuatnya pasar (industri) menghegemoni atau mengontrol negara dan civil society. Dominasi kapitalisme terhadap negara dan civil society bisa dilakukan dengan menghilangkan state regulation, digantikan market regulation. Hegemoni juga bisa dilakukan secara halus melalui pengetahuan, wacana, definisi baik buruk, serta melalui kebudayaan yang konsumtif.
D.    Pola keseimbangan antara negara, industri (pasar) dan civil society. Pada pola ini tidak ada yang dominan, masing-masing melakukan check and balances. Sistem demokrasi pada dasarnya lebih mengacu pada pola keseimbangan ini.

Intervensi Pemilik Media "Konglomerasi Media" 

Aturan Konglomerasi Media 

Konglomerasi Media Massa