Konglomerasi Media dan dampaknya
Konglomerasi
Media adalah penggabungan-penggabungan perusahaan media menjadi perusahaan yang
lebih besar yang
membawahi banyak media. Konglomerasi ini dilakukan dengan melakukan korporasi
dengan perusahaan media lain yang dianggap mempunyai visi yang sama. Pembentukan konglomerasi ini dengan cara
kepemilikan saham, joint venture / merger, atau pendirian kartel komunikasi
dalam skala besar. Akibatnya kepemilikan media yang berpusat
pada segelintir orang. Contoh dalam hal ini Trans7 dan Trans TV berada pada
payung bisnis yang sama yakni Trans Corp yang dikuasai oleh Chairul Tanjung ,
Global TV, RCTI dan TPI bergabung dalam Group MNC dan bertindak selaku pemilik
di Indonesia adalah hary Tanoesoedibyo, TV One dan ANTV bernaung di bawah
bendera Bakrie Group dengan Boss utama Abu Rizal bakrie, SCTV yang sebahagian
besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja, dan yang terakhir Metro TV
dengan Surya Paloh pemimpinnya yang termasyhur karena wajahnya sering
ditampilkan oleh TV yang dimilikinya sendiri.
Intinya
adalah kepemilikan media pada hanya segelintir orang saja, membentuk sebuah
gurita media karena satu orang menguasai berbagai media. Mungkin bagi
kebanyakan orang nampaknya hal ini
sah-sah saja, karena setiap orang pasti akan selalu berusaha untuk
mengembangkan usahanya. Tetapi ternyata konglomerasi mempunyai dampak yang luar
biasa berbahaya bagi masyarakat, karena dapat membentuk opini tertentu yang
tidak sehat, sterotipe pada suatu hal tertentu dan lain-lain.
Konglomerasi
di Indonesia menyebabkan satu orang dapat menguasai banyak media muncul,
sehingga orang tersebut dapat mengendalikan berbagai media dalam satu waktu,
dari kebijakan yang harus dianut, berita mana yang layak di publikasikan,
nilai-nilai yang dianut dan sebagainya. Akibatnya jika media yang tergabung
dalam satu group tertentu maka berita dan informasi yang disampaikan akan
homogen. Selain itu berita yang disampaikah hanya berita yang dianggap
menguntungan secara ekonomi. Akhirnya Pers tidak lagi dinilai dari seberapa
besar nilai berita yang ada, tetapi berapa banyak keuntungan yang akan
didapatkan dari pemuatan berita tersebut. Sebetulnya ini merupakan tanda-tanda
bahwa tidak ada regulasi yang mengatur tentang kepemilikan media.
Contoh
ANTV karena saham terbesarnya milik keluarga Bakri, maka bagaimana pun tidak
akan pernah ada berita yang akan mengangkat lumpur lapindo dan penderitaan
masyarakat yang ada di sana. Televisi lain adalah Metro TV yang sering kali
menyiarkan pemberitaan tentang Partai Nasional Demokrat, padahal kalo
diperhatikan nilai berita mungkin tidak terlalu tinggi. Tetapi karena
kepentingan pemiliknya maka berita tersebut sering muncul.
Dampak yang paling berbahaya adalah pembentukan opini media yang bisa jadi menjadi opini publik. Bisa jadi karena kuatnya konglomerasi yang ada membuat pemilik media dapat membuat opini media menjadi opini publik, Ini bisa terjadi ketika banyak media (yang sebenarnya masih satu konglomerasi) meng "opinikan" hal sama. Masyarakat awam yang tidak tahu mengira itu adalah opini publik karena banyak media meng opinikan sesuatu yang sama.
Intervensi Pemilik Media "Konglomerasi Media"
Bahaya Konglomerasi Media
Dampak Konglomerasi Media
Regulasi atau Aturan Konglomerasi Media Di Indonesia
No comments:
Post a Comment