Konglomerasi Media dan Agenda Setting
Di sekitar kita,
sering kita jumpai orang dengan status ekonomio yang berbeda, ada yang miskin,
juga ada orang yang kaya. Orang miskin tidak mempunyai harta sedangkan orang
kaya memiliki harta dan uang yang melimpah. Saat kita menjumpai hal tersebut
sering kali kita tidak mempedulikannya. Karena harta yang mereka miliki adalah
jerih payah dari pekerjaan dan usaha mereka.
orang kaya
seringkali mengumpulkan hal-hal yang mereka sukai untuk menjadikan nya sebagai
koleksi. Ada yang koleksi tas mewah, koleksi motor gede, koleksi mobil mewah
dan sebagainya. Sering kali kita tidak terlalu mempedulikannya karena sebanyak
koleksi mereka tidak mempengaruhi kehidupan kita.
Orang-orang kaya
saat ini lebih suka untuk investasi dengan beragam usaha. Banyak orang kaya
yang membuat berbagai macam usaha, seperti bisnis perhiasan, butik, bahan
bangunan, perumahan, mobil mewah dan sebagainya. Tetapi, sering kali sebagai
orang yang biasa-biasa saja kita seringkali mengabaikannya, Cuma berhanyal
bagaimana menjadi seperti mereka.
Mempunyai usaha
memang adalah hal semua orang sebagai jalan untuk membuka rejeki atau nafkah
bagi keluarga. Kalo melihat itu, kita tidak masalah dengan konglomerat keluarga
Hartono pemilik Perusahaan Djarum dan BCA, atau konglomerat Susilo Wonowidjojo
pemilik Gudang Garam, dan pengusaha lainnya. Asalkan usaha nya adalah usaha yang jujur dan
tidak merugikan orang lain mari kita dukung.
Tapi fenomena
yang saat ini terjadi adalah ada beberapa orang yang memiliki banyak usaha
dalam bidang penyiaran seperti media cetak, televisi dan radio. Sepertinnya kao
kita lihat itu juga menjadi hal yang biasa dan tidak perlu di masalahkan. Yang punya
duit mereka, yang membangun media mereka dan yang punya usaha mereka. Tetapi kenapa
kita permasalahkan ya ?
Ingat kita sudah
sepakat harus mendukung usaha seseorang asal dengan syarat jujur dan tidak
merugikan orang lain. Lalu apa salahnya kalo ada orang yang mempunyai usaha
banyak di satu media. Misal punya televisi, punya radio dan punya majalah.
Seolah-olah memang tidak masalah ya ? Kepemilikan seseorang dalam banyak media
disebut konglomerasi media.
Konglomerasi
Media adalah penggabungan-penggabungan perusahaan media menjadi perusahaan yang
lebih besar yang membawahi banyak media. Konglomerasi ini dilakukan dengan
melakukan korporasi dengan perusahaan media lain yang dianggap mempunyai visi
yang sama. Pembentukan konglomerasi ini
dengan cara kepemilikan saham, joint venture / merger, atau pendirian kartel
komunikasi dalam skala besar baik intergrasi vertikal, intergasi horisontal
maupun kepemilikan silang. Akibatnya kepemilikan media yang berpusat pada
segelintir orang. Contoh dalam hal ini Trans7 dan Trans TV berada pada payung
bisnis yang sama yakni Trans Corp yang dikuasai oleh Chairul Tanjung , Global
TV, RCTI dan TPI bergabung dalam Group MNC dan bertindak selaku pemilik di
Indonesia adalah hary Tanoesoedibyo, TV One dan ANTV bernaung di bawah bendera
Bakrie Group dengan Boss utama Abu Rizal bakrie, SCTV yang sebahagian besar
sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja, dan yang terakhir Metro TV dengan
Surya Paloh pemimpinnya yang termasyhur karena wajahnya sering ditampilkan oleh
TV yang dimilikinya sendiri.
Intinya adalah
kepemilikan media pada hanya segelintir orang saja, membentuk sebuah gurita
media karena satu orang menguasai berbagai media. Mungkin bagi kebanyakan orang nampaknya hal ini sah-sah saja, karena
setiap orang pasti akan selalu berusaha untuk mengembangkan usahanya. Tetapi
ternyata konglomerasi mempunyai dampak yang luar biasa berbahaya bagi
masyarakat, karena dapat membentuk opini tertentu yang tidak sehat, sterotipe
pada suatu hal tertentu dan lain-lain.
Konglomerasi di
Indonesia menyebabkan satu orang dapat menguasai banyak media muncul, sehingga
orang tersebut dapat mengendalikan berbagai media dalam satu waktu, dari
kebijakan yang harus dianut, berita mana yang layak di publikasikan,
nilai-nilai yang dianut dan sebagainya. Akibatnya jika media yang tergabung
dalam satu group tertentu maka berita dan informasi yang disampaikan akan
homogen. Selain itu berita yang disampaikah hanya berita yang dianggap
menguntungan secara ekonomi. Akhirnya Pers tidak lagi dinilai dari seberapa
besar nilai berita yang ada, tetapi berapa banyak keuntungan yang akan
didapatkan dari pemuatan berita tersebut. Sebetulnya ini merupakan tanda-tanda
bahwa regulasi atau peraturan yang
mengatur tentang kepemilikan media tidak berjalan dengan baik. Padahal
konglomerasi media berbahaya dan ancaman kebebasan pers.
Contoh ANTV
karena saham terbesarnya milik keluarga Bakri, maka bagaimana pun tidak akan
pernah ada berita yang akan mengangkat lumpur lapindo dan penderitaan
masyarakat yang ada di sana. Televisi lain adalah Metro TV yang sering kali
menyiarkan pemberitaan tentang Partai Nasional Demokrat, padahal kalo
diperhatikan nilai berita mungkin tidak terlalu tinggi. Tetapi karena
kepentingan pemiliknya maka berita tersebut sering muncul.
Pemilik media
Sebuah pertanyaan
yang biasa adalah siapa yang pertama kali menentukaan agenda media ? Ini adalah
pertanyaan yang sulit dan kompleks. Terlihat bahwa agenda media berasal dari
tekanan baik di dalam organisasi media dan dari sumber-sumber di luar
organisasi tersebut. Dengan kata lain, agenda media ditentukkan oleh beberapa
kombinasi pemprograman internal, keputususan manajerial dan editorial, dan
pengaruh eksternal dari sumber-sumber non-media, seperti individu yang
berpengaruh secara sosial, pejabat pemerintah, dukungan iklan dan sebagainya. (Littlejohn,
2009:418)
Harusnya agenda
media merupakan hadil dari buah pikiran banyak orang, karena media ibarat
sebagai seorang indivisu yang mempuyai karakter dan suatu tujuan hidup. Tapi bagaimana
jika media itu dimiki oleh seorang yang punya kepentingan pribadi yang kuat,
dan berambisi untuk mencapai tujuannya dengan berbagai cara. Ini yang menjadi
berbahaya bagai publik. Agenda media tidak lagi buah dari pemikiran dari keputusan
bersama manajerial dan editorial, tetapi buah pikiran pemilik media yang
mempunyai agenda pribadi.
Dari versi teori
yang paling sederhana dan langsung, agenda media mempengaruhi agenda masyarakat
dan agenda masyarakat mempengaruhi agenda kebijaksanaan. (Littlejohn, 2009:416)
Teori ini dapat dipatahkan mana kala ada konglomerasi media, karena yang
menentukkan agenda media adalah agenda politik dari pemilik media.
Kekuasaan pemilik
media harus di batasi
Kekuasaan pemilik
media harus di batasi, karena jika tidak dibatasi, agenda pribadi dapat masuk
dalam semua isi berita. Contoh Di TV one tidak akan memberitakan berita buruk
tentang lumpu lapindo. Atau saat ini yang sedang berlangsung, kasus “papa minta
saham”coba dibandingkan pemberitaannya antar tv one dengan stasiun televisi
lainnya. Aturan sudah ada, tinggal bagaimana cara menindaknya.
Penyusun Isu masyarakat
Para peneliti
telah lama mengetahui bahwa media memiliki kemampuan untuk menyusun isu-isu
bagi masyarakat. Salah satu penulis awal yang menrumuskan gagasan ini adalah
Walter Lippmann seorang jurnalis Amerika terkemuka. Lippmann mengambil pandangan
bahwa masyarakat tidak merespon pada kejadian sebenarnya dalam lingkungan,
tetapi pada “gambaran dalam kepala kita”, yang ia sebut dengan “lingkungan
palsu” (pseudoenvironment) : Karena
lingkungan yang sebenarnya terlalu kompleks, dan terlalu menuntut adanya kontak
langsung. Kita tidak dilengkapi untuk berhadapan dengan begitu banyak detail,
begitu banyak keragaman, begitu banyak permutasi dan kombinasi. Bersama-sama
kita harus bertindak dalam lingkungan, kita harus menyusun kembali dalam sebuah
model yang lebih sederhana sebelum kita berhadapan dengan hal itu. Media
memberitakan kita model sederhana dengan menyusun agenda bagi kita (Littlejohn,
2009:415)
Manusia tidak mampu mersepon gambaran secara
langsung karena terlalu kompleks, media membuat media yang lebih sederhana,
kita mempercayai agenda media tersebut. Padahal agenda media tersebut buah dari
agenda pemilik media yang berkepentingan.
Agenda kita ditentukkan oleh orang lain ? Media teman yang berbahaya.